Ekspedisi Kali Pelus Part 1

Posted by on Wednesday, February 5, 2014


Banyumas memiliki potensi alam yang berupa sungai, ngarai/jurang, dan air terjun yang belum tergali secara optimal. Terlebih sebagai wilayah yang terletak di sebelah selatan Gunung slamet memiliki potensi alam berupa banyaknya sungai dan air terjun yang dekat dengan pemukiman penduduk. Tak hanya itu, Sungai dan air terjun tersebut juga didukung dengan pemandangan alam yang indah dan debit air yang jernih serta stabil setiap tahunnya. Potensi tersebut dapat dioptimalkan melalui aktifitas alam bebas dengan memadukan olahraga alam bebas dan hiburan menjadi wisata minat khusus.




Uraian Singkat Tentang Canyoning

Adalah aktifitas yang disebut sebagai canyoneering merupakan aktifitas berbasis penelusuran sungai, ngarai/jurang, air terjun yang memadukan berbagai teknik disiplin alam bebas seperti abseiling/rapelling (turun tebing), scrambling (melipir tebing), berenang, lompat tebing, maupun hiking. Aktifitas yang belakangan umum disebut dengan canyoning tersebut awalnya merupakan aktifitas yang lebih ditujukan untuk penelitian seperti hidrologi, klimatologi, ekologi, dan berbagai penelitian lain. Sedangkan beberapa tahun terakhir aktifitas ini telah berkembang menjadi olahraga dan aktifitas yag lebih bersifat hiburan.

Canyoning cukup berkembang di negara-negara Eropa, diawali di Perancis dan Italia. Di Indonesia sendiri, canyoning cukup berkembang di Bali mengingat ICOPro sebagai federasi internasional yang menaungi canyoning berbasis di Bali. Namun demikian belum ada banyak pegiat maupun komunitas yang benar-benar konsisten bergerak di bidang canyoning. Bagaimana aku mengenal aktifitas ini, kalian dapat membacanya di artikel sebelumnya di sini.


Ekspedisi Kali Pelus

Gagasan tentang ekspedisi ini tercetus dari obrolan sederhana mengenai pengelolaan potensi alam Baturraden antara aku, beberapa teman, dan pemilik Baturraden Adventure Forest (BAF). Kami menganggap wisata minat khusus dapat menjadi filter efektif untuk mengurangi dampak kerusakan alam dan eksploitasi yang salah terhadap tempat wisata.

Ada kekhawatiran dari kami mengenai beberapa lokasi "surga tersembunyi" di Banyumas, khususnya Baturraden mulai terekspose melalui teknologi. Terutama arus informasi twitter. Kami memandingkan dengan Dieng atau Gunung Slamet yang kini menghadapi problematika sampah dan kerusakan ekosistem. 

Canyoning ID & Friends.
Kami menilai canyoning bisa menjadi salah satu bentuk solusi mengingat kondisi alam yang cukup relevan dengan konteks ini. Tak butuh lama bagi kami untuk merencanakan teknis ekspedisi canyoning. Melalui beberapa pengamatan dan survei selama beberapa waktu terakhir, terutama melalui peta topografi aku menyebutkan beberapa sungai sebagai tempat ekspedisi. Nama Kali Pelus terpilih karena berada melintasi lahan milik BAF, dan dengan azas kerjasama, sepakatlah BAF menjadi donatur untuk penyelenggaraan ekspedisi ini. 

Setelah menghubungi beberapa pihak lain, maka mengerucutlah 20 orang peserta ekspedisi ini yang merupakan perwakilan dari wartawan, Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Pengcab Banyumas, Paguyuban Pariwisata Baturraden (PNPB), beberapa anggota mapala dan juga Canyoning ID. Beberapa pemandu BAF juga dilibatkan sebagai tim technical support. Sabtu-Minggu 18-19 Januari diputuskan sebagai waktu pelaksanaannya walau rencana ini sempat mengalami penundaan. 

18 Januari 2014. Hari Pertama. 
Pukul tujuh pagi semua peserta telah siap di halaman BAF dengan kopi dan cemilan di tangan. Sejam kemudian dua buah truk pick up membawa kami yang telah lengkap dengan pelampung, helm, dan harness. Truk itu membawa kami menuju entry point yang berada di jalur alternatif Baturraden-Serang. Aku sendiri hanya mengetahuinya lewat peta dan berdasarkan informasi dari warga sekitar. Cukup beresiko memang, mengingat aku hanya pernah menjelajahi setengah dari rute ini. Jadi apapun yang akan kami hadapi, semuanya adalah improvisasi.

Kami langsung dihadapkan pada medan berupa andesit terjal dan ngarai semi-aquatic (agak basah) hanya berjarak kurang dari seratus meter dari entry point awal. Warga lokal menyebutnya curug sapi, dan aku baru menyadarinya setelah berada di dasar ngarai dan mendapati segongkah batu setinggi dua meter lebih menyerupai sapi.

Di bawah Batu Sapi.
Kami berada di jauh bawah kanopi hutan dengan sulur dan batang pohon yang menjuntai kami. Beberapa hari sebelumnya, ada tujuh ekor pacet, kaki kananku dan dua di kaki kiriku. Hewan kecil penyedot darah semacam lintah itu menempel saat aku dan beberapa orang BAF membersihkan jalur entry point untuk turun ke sungai. Tapi sekarang makhluk-makhluk kecil itu tak nampak sama sekali. Hanya katak, serangga, dan renik lain penghuni dasar sungai.

Dasar Sungai, di bawah kanopi hutan.
Jalur ini sangat licin, tidak disarankan menggunakan sandal atau sepatu bersol keras sepertu trekking boots ataupun sandal gunung. Aku sendiri justru nyaman dengan sepatu kets. Selama empat jam pertama dasar sungai berupa medan tanah berkerikil penuh batu besar berlumut. Beberapa batang pohon besar yang melintang roboh kami temui, genangan air jernih menghadang untuk kami seberangi dan sulur-sulur pohon menjuntai bagai kerai. Suasana yang temaram di antara tebing membawaku pada bayangan sebuah hutan bermonster seperti pada majalah-majalah anak.

Berlumut dan licin.
Terhitung tiga buah air terjun kami lalui, sumber mata air kecil yang membentuk kolam-kolam berair jernih dan percikan air juga tak terhitung jumlahnya. Kami bahkan langsung meminumnya saat haus, membuat botol air di tas logistik kami tetap penuh. Inilah salah satu kekayaan hutan Gunung Slamet yang penyimpanan air bagi masyarakat yang mermukim di bawahnya. 
Sumber mata air dan kolam-kolamnya.
Pukul dua belas kami sampai di curug 40 meter, salah satu entry point rute canyoning milik BAF. Curug ini dinamai 40 meter karena tidak ada sebutan oleh masyarakat lokal, dan nama 40 meter disematkan karena ketinggiannya sejak saat bolting (pemasangan hanger) oleh Tedi Ixdiana beberapa tahun lalu. 

Rappelling VS Cliff Jumping.
Mendung manggantung disertai rintik hujan yang memaksa kami tidak menuruni air terjun ini. Keputusan ini kami ambil sebagai upaya antisipasi resiko bajir yang memang kerap datang dengan cepat. Dengan pertimbangan, butuh waktu yang cukup lama bagi dua puluh orang untuk rappelling dengan ketinggian 40 meter, terlebih sebagian peserta yang masih awam. Kami tidak mau kejar-kejaran dengan waktu ditambah resiko air bah yang mungkin datang dalam hitungan menit.

Kami lalu mengambil jalan berputar menggunakan rute pencari rumput lokal menuju titik temu dengan tim sweeper dari BAF yang juga membawa bekal makan siang kami. Di titik temu yang disebut guyangan yang dalam Bahasa Jawa berarti kubangan ini konon dulunya memang menjadi tempat berkubang celeng, rusa, dan hewan lain. Kini tempat itu telah tertutup tanaman pakis menyisakan ruang kosong seluas enam meteran persegi.
:p
Selama penelusuran kami, tim sweeper BAF memang bergerak di atas sungai melalui rute pencari rumput yang sejajar dengan aliran Sungai Pelus ini. Tim ini dipersiapkan sebagai tim support yang membawa bekal logistik, medis, dan tambahan evakuasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Pukul satu siang lebih kami melanjutkan penelusuran dengan Curug Bening sebagai entry point berikutnya. Pengalaman melalui rute ini tak jauh beda dengan pengalaman yang dulu pernah aku rasakan saat penelusuran yang aku lakukan dulu. Biar mempersingkat cerita, kalian bisa membacanya di sini
Rappelling Curug Bening.
Hanya saja kali ini kami harus tetap memanfaatkan waktu secara efisien mengingat air hujan yang masih menghujam. Dan tetap, di exit point adalah salah satu bagian terbaik dari rute itu. Kita akan melihat siapa yang memiliki phobia ketinggian dan tersenyum melihat opsi apa yang akan mereka pilih. Cliff jumping dari ketinggian empat meter atau mencari cara lain. 

Di bawah Curug Bening.
Saung bambu BAF menjadi akhir perjalanan kami hari itu. Checking kaki adalah hal yang eprtama kami lakukan, mencari pengungtit kecil yang meneyelinap di kaki-kaki kami. Total sembilan pacet dicabut dari kaki kami, bahkan di (maaf)pantat wiwit. Cukup menggelikan karena kami tidak tahu bagaimana pacet itu bisa sampai di tempat yang tidak biasa itu. Sebagian dari pacet itu telah menggembung dan bisa saja "meledak" jika mereka sedang apes tak dapat melepas kait mulut mereka. 

Leave a Reply