Pada hakikatnya, berkomunitas adalah menerima perbedaan yang ada. Dan sudah sepantasnya untuk membuka diri terhadap hal baru, bukan justru mempersempit perspektif dan membatasi diri menjadi semakin eksklusif. Semakin luas lingkaran komunitas kita, tentu saja semakin banyak yang kita dapat.
Jumat, 22 Juni 2014. Jika ibuku telepon hari itu, mungkin aku berbicara dalam empat bahasa dan lima dialek. Sayangnya tidak tersedia sinyal dan jaringan internet di Pantai Siung Jogjakarta.
Aku berasal dari Karesidenan Banyumas yang memiliki logat sangat berbeda dengan Bahasa Jawa lainnya semacam Jogja, Solo, atau bahkan Jawa Timuran.
Kadang aku aneh saat mendengar orang Banyumas yang menjunjung slogan "ora ngapak dupak". Atau dalam bahasa Indonesia Tidak ngapak, (bakal kami) tendang. Ngapak sendiri merupakan sebutan orang dari luar Banyumas untuk menyebut logat kami, walau sebenarnya itu memiliki konotasi negatif. Tapi sebutan itu sudah terlanjur melekat pada kami.
Di sisi lain, adalah sebuah paradox saat aku berbahasa dengan dialek lain, namun terkadang masih jadi lelucon karena dialek Banyumasku yang sesekali muncul. Wake up guys, I'm not born in your culture. Aku tak terlahir dengan bahasa ibu seperti kalian, bukankah justru sebuah penghormatan bagi kalian karena usahaku untuk menyesuaikan dan belajar budaya kalian.
Tetapi bahasan semiotik, semantik, dan linguistik adalah hal yang sering aku jumpai selama belajar di jurusan Ilmu Komunikasi. Hal semacam itu adalah hal yang wajar. Beruntungnya untuk aku pribadi, dengan mempelajari beberapa bahasa, semakin banyak informasi yang aku dapat. Walau terkadang mempelajari bahasa yang terbaik adalah melalui pengalaman empiris secara langsung.
Kembali dua bulan sebelumnya, sekitar bulan Maret, Sadham mengundangku pada sebuah obrolan chat di Facebook. Ternyata obrolan itu diawali oleh seorang Belanda dengan nama fb David Wanderlust. Singkatnya, David ini sedang berencana mengunjungi Indonesia dan ingin merasakan sensasi highline di Indonesia.
Pada obrolan itu yang ternyata juga ada Mang Dadeng dan Mulyadi dari Pushing Panda kemudian menyarankan untuk ber-highline di Jembatan Cisomang (belakangan akhirnya Pushing Panda Bandung menaklukkan Jembatan Cisomang yang juga merupakan highline tertinggi di Indoensia dengan tinggi 110 meter). Sedangkan aku menyarankan untuk mencoba highline di Baturraden, Nglanggeran, atau di Pantai Siung.
Setelah beberapa minggu tidak mendengar kabar, Jogjakartalah yang menjadi destinasi David setelah transit di Jakarta. Maka dipilihlah spot Pantai Siung untuk lokasi highline. Kurang dari satu minggu slacker-slacker dari Pushing Panda, Indoslackline, dan Freeslack Crew mengkonfirmasi kehadirannya. Spontan, menyebarlah flyer event yang dibuat oleh Ciput.
Dalam beberapa rombongan tepisah, akhirnya semua dapat berkumpul Jumat malam di Kedai Panjat milik Mbah Wasto. Sore sebelumya, David berhasil menaklukkan lintasan Afternoon Delight. Baca detailnya di sini.
Jumat malam aku kembali ke Jogja untuk mengantarkan Dika, dan kembali ke Pantai Siung esok paginya. Sudah cukup siang, tetapi aku belum terlalu terlambat untuk membantu mereka memasang instlasi rigging. Lintasan Ndhas Buto menjadi spot highline kami. Banyak hal kocak saat Sadham dan Pandu membantu proses instalasi, tentunya karena sedikit kendala bahasa.
Tak hanya itu, David tercengang dengan standar keselamatan yang kami gunakan. Kami menggunakan lubang tembus pada batu karnag sebagai anchor tali utama dan back up. Banyaknya rongga pada karang memang hampir tidak memungkinkan untuk dipasang hanger. Tetapi justru akan efektif jika kita memanfaatkan lubang tembus itu sebagai anchor. Kendala utamanya adalah friksi pada sling.
Kami mengakalinya dengan menggunakan lakban sebagai padding. Seluruh permukaan sling yang bersentuhan langsung dengan karang kami lapisi dengan lakban. Trik itu aku pelajari dari pemanjat tebing yang juga pernah memanjat di Pantai Siung.
Memang tampak menakutkan, tapi nytanya itu cukup aman. Melihat hal itu, awalnya David sedikit ragu-ragu. Tetapi setelah melakukan serangkaian tes, ia pun memberanikan diri untuk memasang lakban dan menyatukan line utama dengan tali back up. Tetapi ia masih kurang percaya dengan keamanannya dan memasang line sedikit longgar dari biasanya. "Inilah slackline. Ingat, slack. Kalau kencang namanya bukan salckline", alibinya dalam bahasa Inggris.
Untuk David yang biasa berlatih dengan tensi tali yang cukup kendur (loose line), atau bahkan rodeo line, mungkin hal itu tidak masalah. Tetapi itu menjadi permasalahan bagi kami yang biasa berlatih dengan tensi kencang. Di sisi lain, dengan memasang tali lebih kendur itu mengurangi beban yang diterima anchor. Dengan kata lain, mengurangi resiko patahnya batuan lubang tembus yang kami pakai sebagai anchor.
Sekitar dua jam akhirnya instalasi selesai. Tebing-tebing curam di sekitar spot Ndhas Buto telah dipadati slacker. Dari Pushing Panda ada Mang Dadeng, Iding, Fikri, dan Viki yang hari sebelumnya datang bersepeda dari Terminal Wonosari. Dari freeslack Crew ada Sadham, Pandu, Dimas dan Ciput yang mengabadikan momen melalui kameranya. Dari Indoslackline, saya. Dan dari Jogjakarta ada Mba Pinta dan Andre yang datang sedikit terlambat.
Satu per satu dari kami mencoba, sebagian tumbang dan menyerah, sebagian bangkit lagi, dan sebagian menamatkan lintasan dengan mulus. Tetapi tentu saja pola latihan dan konsentrasi ketertarikan antara highline dan trickline sangat menentukan di sini. Juga gaya mereka di atas tali.
Hari itu kami belajar banyak satu sma lain mengenai karakteristik instalasi slackline, teknik, pola latihan, dan tentunya belajar mengenal budaya satu sma lain. Tapi yang paling penting adalah kami semua menikmati event hari itu.
Foto-foto oleh Ciputra Ade Maharjono dan Isro Adi.