Probolinggo Slackline Part 2

Posted by on Tuesday, October 14, 2014

 
Highline membawa kita untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita. Bagiku, highline mampu menemukan kembali pada sisi kelam ingatanku.


Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya, kalian bisa membacanya di sini.

Aku berada di dalam ruang sempit. Sebuah pipa beton. Gorong-gorong. Tak lebih dari bahu lebarnya. Aku merayap dalam gelap dan lembap. Tak ada cahaya kecuali beberapa meter di depanku atau di belakangku. Berapa meter, entahlah. Sudah  berapa menit aku berada di ruang sempit ini, akupun tak ingat. Aku hanya berusaha menggapai cahaya terang di ujung sana dan tak bisa melihat ke belakang. 

Aku akhirnya menggapai cahaya yang aku tuju. Tetapi rasa senang itu sesaat lenyap. Ujung gorong-gorong ini tidak seperti yang aku bayangkan. Sebelumnya aku berpikir ini adalah sebuah lubang tembus di sisi lain gorong-gorong. Tapi tenyata ini adalah pipa berbelok yang tegak lurus sembilan puluh derajat. Perkiraanku salah karena tentu saja aku tak bisa melewatinya. Aku mulai takut dan sesaat keringat keluar dari tubuhku. Aku sendiri. Aku berteriak dan tentu saja tak ada yang mendengarku.

Gorong-gorong ini berada di salah satu blok perumahan yang masih di bangun, tentu saja tak ada orang yang akan mendengarku. Aku menangis lemas. Tubuh kecilku tertengkurap dan terasa pipiku yang basah karena air mataku. 
Aku berusaha untuk merayap mundur. Ternyata bisa! Aku mendorong tubuh dengan lengan dan lututku. 

Aku bergerak perlahan, sangat lambat, dan hampir putus asa. Aku berkeringat dan semakin memberontak karena ketakutan. Aku tak mau terjebak di sini.Pipa beton ini terasa kasar. Merayap mundur tanpa melihat arah yang kita tuju tampaknya memakan waktu lebih lama. Atu mungkin akrena aku ketakutan, mungkin ini menjadi menit-menit terlama dalam hidupku. Yang aku tahu hanya mencapai lubang tempat aku masuk secepatnya. Sambil nafasku terengah-engah, entah karena tempat ini pengap, panik, atau ingus yang memenuhi hidungku. Aku semakin dalam memasuki kegelapan dan menjauhi cahaya. Entah berapa meter lagi yang terasa aku merayap mundur tanpa ujung.

Akhirnya aku merasakan ujung pipa. Sebuah titik tolak awalku tadi. Aku keluar, berhasil dan melihat kembali cahaya matahari dan menghirup udara luar. Rasanya bebas. Aku berhenti menangis dan segera berlari pulang tanpa alas kaki sambil membawa beberapa lecet di siku dan lutut. Entah bagimana pipa sempit itu menjadi sangat menarik untuk aku masuki. Tadi sebelum aku masuk, ada "goa" dalam imajinasiku. Aku berekspektasi akan mendapat pengalaman dan menemukan sesuatu yang menarik. Tapi ternyata hal lain yang aku dapati.

Kejadian itu terjadi beberapa puluh tahun atau beberapa belas tahun lalu. Aku sendiri tidak ingat berapa usiaku saat itu. Mungkin sebelum aku SD. Namun setiap detik kejadian itu masih membekas di kepalaku. Hingga beberapa tahun setelahnya -mungkin SMP- aku tidak pernah berani tidur tanpa penerangan. Hingga saat ini, tempat sempit masih menjadi salah satu ketakutan terburukku. 

***

Selasa, 23 September 2014. Bayangan masa kecilku itu masih menggelayuti pikiranku saat ini. Aku berada di dalam stadion, seharusnya aku membayangkan sebuah ruangan yang luas di mana kita bebas melakukan olahraga apa pun. Tetapi kali ini berbeda. Langit-langit stadion hanya satu jengkal dari jari-jariku jika aku mengangkat tanganku. 

Enam atau delapan meter di bawahku anak-anak sekolah memadati tribun penonton. Sebagian dari mereka menatapku dan mungkin bertanya-tanya apa akan mereka lihat. Sebagian yang lain masih menonton break dance yang berada di tengah lapangan. Sekitar delapn belas meter di bawah sana.

Kakiku berada di tali dan tanganku masih berpegangan pada rangka besi stadion. Aku berpegangan sangat erat. Angin pesisir menyeruak melalui ventilasi yang tingginya sejajar denganku. Aku mendengar derak atap stadion bergesekkan terkena angin, sayup-sayup suara Jalom dan beberapa orang anggota FPTI Probolinggo berbicara. Aku tak memahami apa yang mereka bicarakan.

Aku fokus kepada Andika yang berada di bawah sana. Menunggu aba-aba agar aku mulai berjalan. Dengan susah payah aku mengusir bayanganku. Aku tak tahu kenapa justru rasa takut atas tempat sempit yang aku rasakan, bukan takut akan ketinggian. Sensasi ini sangat berbeda dengan ber-highline di tempat lain. Aku tak dapat menjelaskan dengan persis apa yang aku alami saat ini.

Break dance selesai dan aku mulai melangkah. Aku fokus ke depan, ada riuh di bawah sana. Aku tetap fokus. SAngat fokus untuk mencoba tidak memikirkan apapun selain lintasan di depan sana.

Sepuluh meter. Lima meter. Tiga meter. Dan akhirnya aku berhasil menamatkan lintasan ini. Kaki kananku menginjakkan sisi lain lintasan. Aku mendarat dengan sukses. Spontan aku berteriak gembira. Spontan juga teriakanku memicu sorakan dari audience yang hadir. Aku lemas dan berkeringat. Tetapi aku berhasil mengalahkan ketakutanku. 

Ini kali kedua aku menamatkan lintasan ini, begitupun dengan semalam. Tetapi sensasinya tak pernah berbeda. Aku masih duduk di sini dan menyeka keringatku. Di bawah sana, susunan acara telah berganti dengan sambutan Walikota Probolinggo.

Aku senang karena berhasil dan tidak memberikan penampilan yang buruk di atas ribuan pasang mata. Tetapi yang terpeting, aku dapat mengalahkan traumaku.

***

Matahari sore itu bersinar sangat hangat dengan awan yang berwarna kemerahan. Kami yang selesai melakukan sesi coaching clinic slackline berfoto bersama di depa GOR Mastrip. Aku, jalom, dan beberapa anggota FPTI Probolinggo segera masuk dan melucuti rigging highline yang telah kami pasang.

Jalom berencana mencoba lintasan sbelum rigging kami lepas. Dia memasang tali leash di harnest dengan mengaitkan simpul delapan. Aku tahu dia membutuhkan support untuk membulatkan tekad melintasi lintasan ini. Aku hanya mengajaknya berbicara tanpa sedikitpun memandang ke arahnya. Dalam hatiku, aku benar-benar takut. Hanya saja aku tak mau mengatakannya. Jelas mentalnya akan turun jika aku berkata jujur. Aku berpegangan erat pada rangka besi dan telapak tanganku teras basah. Aku mencoba menybuikkan diri dengan men-scroll down timeline twitter.

Tempat kami duduk hanya ruang beton selebar lima puluh sentimeter yang dipenuhi kabel dan pipa. Aku masih duduk dan berpegangan erat tanpa banyak bergerak. Jalom mengurungkan niatnya saat aku berkata padanya "kalau ragu-ragu, mending tidak usah", ujarku. Entah kenapa aku berucap demikian. Aku selalu menyuruh Jalom untuk mencoba semua lintasan highline yang pernah kami buat. Aku tidak pernah meremehkan keseimbangannya. Tapi kali ini, aku memiliki ketakutan lain yang lebih pribadi. Dan aku tidak bisa tidak melibatkan pikiranku saat ini.

Malam mulai turun, lampu stadion yang tidak dinyalakan membuat kami menggulung tali dan memberesi alat-alat dengan penerangan seadanya. Senter yang ada di hp kami. Aku belajar banyak di Probolnggo, dan dari lintasan ini. Lintasan ini sendiri menambah daftar lintasan highline yang pernah aku coba, tapi tampaknya tidak masuk dalam hitungan sebagai spot highline yang aku buat.

Ngomong-ngomong, aku sempet mampir ke Madakari Pura saat berada di Probolinggo.




Ngomong-ngomong juga, dua hari setelahnya, fotoku muncul di salahsa tu ahrian di Jawa Timur.



Leave a Reply