Di Timur Indonesia 3 : Pulau Labengki

Posted by on Friday, May 20, 2016


"Bagaimana kalau sebetulnya kita hanya probabilitas? Kemungkinan. Dalam hitungan deret matematis. Kita adalah kemungkinan. Kemungkinan kita beririsan dengan kemungkinan orang lain, sehingga kita dapat bertemu dengan orang lain. Bisa jadi kemungkinan kita akan menjadi kemungkinan lain jika kita mengambil keputusan yang berbeda. Atau hal yang lebih ekstrem, bagaimana kalau sebetulnya kita tidak benar-benar ada. Kita tidak hidup dalam kemungkinan kita sendiri. Kita tidak beririsan dengan kemungkinan orang lain, tapi justru merupakan kemungkinan dari orang lain". 

19 Mei 2016. Masih bercerita mengenai keindahan Bagian Timur Indonesia, yang tampaknya tidak akan ada habisnya. Terutama bagi kita yang tinggal di Pulau Jawa, Sulawesi memiliki karakter bentang alam yang sangat berbeda dengan lansekap kota-kota dan hiruk pikuk Pulau Jawa.

Beberapa bulan sebelumnya saat bertugas di Kendari, aku merasa menemukan sebuah potongan surga. Yaitu Pulau Bokori yang saat ini menjadi kenangan yang sedikit demi sedikit terkubur lima bulan kejenuhan akan rutinitas kerja. Aku tidak tahu kapan lagi bisa mengunjungi pulau itu. Setidaknya, aku pernah menjejakkan kakiku pada suatu hamparan pasir yang menawan. 

Namun siapa sangka ternyata Pulau Bokori hanya sekelumit keindahan yang ada di sana.

Singkat cerita, sekitar dua bulan lalu aku tengah fokus memandangni deret angka di depan monitor di tengah rutinitas kerja. Notifikasi wasap bersahut-sahutan dan aku mengacuhkannya. Tetapi lama-lama aku penasaran dengan siapa yang menghubungiku pada jam kerja, terutama karena semua notifikasi group sudah aku setting pada mode mute.

Pesannya berisi perkenalan dari seseorang yang mengaku mengelola vila di Pulau Labengki. Dia menemukan artikel di salah satu harian nasional tentang aktifitas slackline. Lantas browsing dan menemukan nomor selulerku. Pulau Labengki, rasanya aku pernah mendengarnya. Namun entah di mana.


Dia melanjutkan tentang tujuannya menghubungiku. Dia tertarik dengan aktifitas slackline dan menginginkan ada slackline di vilanya. Aku masih belum ada bayangan mengenai apa yang diinginkan orang asing ini. "Pulau Labengki ada di Sulawesi Tenggara", katanya. Pantaslah aku yakin namanya pernah aku dengar, walau samar entah di mana.

Beberapa saat kemudian, ia telah membanjiri wasapku dengan foto-foto Pulau Labengki yang dia kirim via whatsapp. Aku terkejut, sesaat seakan darah mengalir kencang ke kepalaku. Sebuah lansekap pemandangan yang dia kirimkan kepadaku. Potongan-potongan surga.

Oke, baik lah orang asing, apa yang kamu mau dengan slackline di tempat seindah itu? Aku bilang ada banyak yang bisa dilakukan di sana. Jelaslah, siapa pun tentu bisa melakukan apa saja di tempat seindah itu.

Dilanjutkan dengan telepon, dia menceritakan keinginannya untuk menjadikan slackline sebagai salah satu wahana hiburan di villanya. Akupun menjelaskan bahwa pada dasarnya slackline bukan hiburan komersial seperti yang mungkin ia bayangkan karena memang tidak semua orang mau atau mampu menikmatinya. Aku menyarankan aktifitas lain yang mungkin dapat dilakukan. Kurang lebih setengah jam, perbincangan itu ditutup dengan berakhirnya jam makan siangku.

Hari-hari selanjutnya kami berbincang mengenai konsep yang mungkin dapat dikerjakan di sana. Semakin lama, aku semakin melihat potensi yang dimiliki tempat ini. Maka pada suatu kesempatan, aku segera mengiyakan saat diajak untuk survey langsung ke Pulau Labengki.

Aku mengajak Sadham dan rasanya kembali menuju ingatanku tiga bulan sebelumnya saat mobil yang aku tumpangi meluncur menuju Terminal 1A Bandara Soekarno Hatta. Pukul 4 pagi, tepat seperti kesempatan sebelumnya. Aku kembali melihat semburat jingga matahari terbit dari jendela saat pesawatku mengangkasa, entah di atas Surabaya atau tengah menyeberang menuju Pulau Sulawesi.

Rasanya aneh berada di langit yang sama. Tekanan atmospernya pun sama, membuat gendang telingaku terasa sedikit lebih sakit dibanding penerbanganku ke tujuan lain.

Aku melihat hanggar kecil milik Angkatan Udara saat roda pesawat kami menapakkan aspal Bandara Halu Oleo. Papan namanya terbuat dari kayu sederhana berwarna biru dan merah. Selamat datang kembali, silahkan cari tahu banyak tentangku. Tak perlu sok tahu, yang kamu tahu bahkan tak sebesar ujung kuku. Seakan kota ini membisikkannya padaku.

Seseorang berjersey dan topi Real Madrid menungguku di pintu luar bandara. Kami segera menaikkan tas besar berisi peralatan lengkap yang pastilah overbagage jika kami tidak check in group.

Mobil double cabin putih yang kami tumpangi merayap di atas aspal hitam jalan bypass Kota Kendari yang panas. Aku masih ingat banyak detail tentang kota ini. Tak jauh berbeda dari kunjunganku sebelumnya.

Kami berhenti sejenak untuk makan sebelum melanjutkan perjalanan satu jam-ku menuju Toli-toli. Perjalanan darat kami berakhir pada sebuah dermaga bertuliskan Giant Clamp Conservation Labengki Island. Orang yang membawaku ke sini mengatakan pemilik konservasi inilah yang menghbungiku. Dan dia yang akan aku temui nantinya.

Dari dermaga, kami akan melanjutkan perjalanan menyeberangi laut dengan kapal cepat dua mesin. Sekitar dua jam setengah katanya. Aku dan Sadham saling memandang. Wajarlah jika tempatnya masih indah. Tak akan seindah itu jika bukan surga tersembunyi. 

Pikiranku sedikit melayang membayangkan daya jelajah manusia yang semakin luas. Tren wisata dan perjalanan meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Membuat surga-surga tersembunyi tersingkap tak lagi tersembunyi. Menyisakan tempat-tempat indah yang sulit dijangkau. Namun bagaimanapun, pengetahuan dan rasa keingintahuan, terlebih keinginan dan semangat kebaruan membuat manusia dapat mengakses tempat-tempat yang sebelumnya tampak mustahil dapat diakses. Teknik dan teknologi peralatan yang berkembang, ditambah gaya hidup menciptakan pasar, industri, dan komersialisasi wisata. Semuanya demi memuaskan hasrat dan pemujaan manusia terhadap keindahan alam. Manusia semakin merasa memiliki alam yang seakan semuanya dalam genggaman. Sebuah romantisme yang akan diwariskan pada keturunan dan generasi penerusnya. 

Lalu di sinilah aku, 30 mil dari daratan di antara semilir angin yang menerjang buritan. Sesekali bias air menerpa wajahku dan memercik sunglassesku. Ombaknya tidak cukup membuatku mabuk laut. Tetapi Sadham tampak bersandar lesu menutupi mulutnya dengan buff.

Dari kejauhan tampak dua daratan di balik cakrawala. Tepat di tempat kosong di tengahnya, itulah tujuab kami. Sebuah laguna di antara cekungan pulau. "Kalau sewa kapal ke sini sendiri, biayanya sekitar dua jutaan", kata nahkoda kami. Ya, saya percaya. Tidak banyak kapal yang kami jumpai kecuali kapal pencari ikan. Aku cukup beruntung bisa mengunjungi tempat ini. Aku tiba-tiba teringat saat pengemudi ketinting (sampan bermesin) yang membawaku Pulau Bokori dulu mengatakan kalau ada pulau yang lebih indah dari Bokori, yaitu Pulau Labengki. Tapi memakan waktu hampir setengah hari kalau menggunakan ketinting.

Laju kapal melambat memasuki mulut laguna yang tampak dangkal. Airnya tenang, kebiruan, dan tampak terumbu karang dan ikan warna-warni. Tiga rumah panggung kayu berderet sedangkan dua lainnya masih berupa tiang penyangga. Dua speedboat dan satu ketinting tampak diparkir di samping rumah panggung. Tampak orang-orang lokal yang memandangi kami, sebagian lainnya terlihat seperti diver yang tengah mempersiapkan aktifitas mereka. Saat itu pukul dua siang.

Aku membayangkan saat ini seperti dalam adegan film saat seseorang memasuki pangkalan militer baru, pusat operasi, atau lokasi ekspedisi. Ya, hanya ada kami yang berjarak bermil-mil dari pemukiman penduduk setempat. Ada suasana senang saat aku merasa bagian dari sebuah project. Ada bau misi yang akan dicapai di sini.

Ya, memang sebagian di antaranya merupakan pekerja yang sedang mengerjakan vila. Lengkap dengan tim support mereka, bagian dapur maupun teknisi listrik. Sebagian lain merupakan para diver dan guide mereka. Tak heran jika memang tempat ini sebelumnya merupakan dive center dan pusat konservasi kima (kerang raksasa). 

Aku tak melupakan tujuanku ke sini, melakukan pemetaan terhadap potensi yang ada di sini. Tentunya melalui perspektif seorang pegiat aktifitas alam bebas.

Maka pada perjumpaan pertama dengan pemilik vila, Pak Indra, ia berencana mengajakku berkeliling sekitaran pulau Labengki terlebih dahulu. Tak perlu waktu lama setelah aku menyeruput setengah gelas kopi khas Kendariku. Aku masih teringat rasa ini. Rasa kopi pahit yang menjadi manis dengan komposisi gula yang cukup banyak. Ditambah rasa khas rempah aneh yang tak pernah terlupakan.

Sama seperti yang biasa aku sesap beberapa bulan lalu. Awalnya aneh, tapi bagaikan permintaan yang tak dapat ditolak atau seseorang yang jatuh cinta pada penculiknya. Lidahku menjadi terbiasa dengan rasa rempah itu, lalu menikmati, dan menjadi rindu saat tak bertemu.

Lalu begtiulah, hari penghujung hari kami habiskan dengan memutari Pulau Labengki Besar. Speedboat yang bergerak lebih lincah membawaku melintasi beberapa spot menarik. Dimulai dari Pantai Mauwang, Pulau Labengki kecil yang tampak dari kejauhan, menuju Teluk Cinta, Teluk Dolipo, dan berhenti sejenak di Pulau Pasir Panjang. Speedboat masih membawaku ke Tebing Mahitala hingga ujung tanjung Pulau Labengki Besar, ke arah belakang melewati Teluk Mahumalala, dan gugusan karang di Teluk Mahumalala Kecil.

Dua hari berikutnya dalam libur longweekend itu aku habiskan dengan mengamati lebih dekat di sekitar Teluk Kimaboe. Aku membayangkan menyematkan nama-nama di antara tempat-tempat menarik yang bisa aku buat sebagai jalur waterline, deepwater soloing, atau panjat tebing. Potongan surga ini menyediakan segalanya. Taman bermain yang tak kan pernah habis untuk aku jelajahi. Membuatku merasa dapat menikmati darat, laut, dan udara. semuanya dalam satu tempat.


Sekali lagi, aku bertanya-tanya bagaimana bisa di tempat ini. Bahkan saat tiga bulan berada di sini aku tidak memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Tapi nyatanya, ada garis cerita yang akhirnya membawaku ke tempat ini. Di antara kemungkinan-kemungkinan dalam hidupku, bisa jadi kemungkinanku beriirisan dengan tempat ini.

Tapi yang jelas, aku menikmatinya.

One Comment

  1. halo, salam kenal, bisa info kontak sewa kapal dari toli-toli ke labengki?

    ReplyDelete