Panjat Tebing Siung (Lagi)

Posted by on Thursday, May 12, 2016


Alih-alih merayakan tahun baru, sebagian petualang ini justru memilih menjauh dari gemerlap kota dan menikmatinya dengan gaya radikal mereka.

Setelah tiga tahun, akhirnya aku menyelesaikan masalah 5.10b-ku. Beberapa saat sebelum aku meluncur turun, Jesse meneriakiku “ale… ale…” yang menuntunku tetap merayap tegak lurus melawan grafitasi. Ale merupakan pengucapan dari kosakata Perancis allez, yang secara universal digunakan di seluruh dunia untuk memberi dukungan bagi pemanjat tebing. Secara tidak langsung semacam kata yang berarti “ayo, kamu bisa”.

Jesse Huth dan Andrea Huth adalah pemanjat tebing yang aku temui pertama di Pantai Siung Jogjakarta beberapa hari terakhir. Mereka berasal dari Washington DC, Amerika. Keduanya datang dua hari menjelang pergantian tahun. Pasangan suami istri –yang menikah di usia 23 tahun, cukup muda untuk ukuran orang barat– itu telah memanjat sejak beberapa tahun silam. Bahkan paman Jesse, adalah salah pemanjat terbaik di DC. Aktif memanjat sejak umur delapan belas tahun hingga di usianya kini yang telah menginjak umur lima puluh sembilan tahun.
 

Bagi dua pejalan ini, perayaan tahun baru kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang mereka habiskan menggunakan kapal pesiar, mengapung di suatu tempat di atas perairan Karibia. Setelahnya, mereka justru mengisi trip-trip mereka dengan aktifitas yang lebih menantang jauh dari kenyamanan. Berkendara dengan van berminggu-minggu menuntaskan sebagian besar daftar taman nasional yang ada di Amerika, atau tentu saja, memanjat tebing.
Pantai Siung Yogyakarta memang bukan tujuan pertama mereka di Indonesia. Mereka menetap di Bali seminggu sebelumnya, tapi nampaknya tahun baru terlalu sayang untuk dilewatkan dengan aktifitas yang biasa. Panjat tebing, sesuai hobi mereka, adalah pilihan utama. Sedangkan Pantai siung dipilih karena informasi mengenai pantai inilah yang pertama mereka dapati saat menjelajah internet.

“kalau mencari kesenangan, tentu kami akan tetap berada di Bali. Kami di sini untuk memulai tahun dengan petualangan baru”, ujar Jesse di suatu kesempatan.

Tampaknya tidak hanya mereka yang berpikir demikian. Aku menemui beberapa tim lain yang juga mengisi pergantian tahun dengan memanjat tebing di salah satu titik pemanjatan terbaik di negeri ini. Bahkan di detik-detik pergantian tahun, suasana Pantai Siung berubah meriah layaknya pusat kota. Kembang api yang meletup-letup di udara, menerangi ratusan tenda berjejer di sepanjang garis pantai dengan ribuan pengunjungnya.

Masyarakat lokal mengatakan bahwa sejak beberapa tahun silam, pengunjung memang selalu memadati Pantai Siung saat perayaan tahun baru. Jumlahnya meningkat pesat tiga tahun terakhir.


Ironisnya, fasilitas utama di Pantai Siung yang terkenal sebagai lokasi panjat tebing justru semakin kurang perhatian. Hal ini tampak dari ratusan hanger –logam tambatan untuk memasang karabiner sebagai pengaman– di berbagai jalur pemanjatan yang tampak berkarat, patah, atau bahkan hilang. Menyisakan beberapa rute layak panjat ber-grade menengah antara 5.9 hingga 5.11.

Grade  merupakan kombinasi bilangan dan huruf yang menunjukkan satuan tingkat kesulitan suatu jalur panjat tebing. Grading system didasarkan pada beberapa faktor seperti tinggi tebing, posisi dan bentuk pegangan, hingga resiko bahaya yang dapat ditimbulkan. Penentuan grade tidak sembarangan dan dilakukan oleh pemanjat ahli, biasanya oleh pembuat jalur itu sendiri yang sekaligus memiliki hak untuk memberi nama. Walau terkadang subyektif, fungsinya adalah untuk menyeragamkan dan memberi gambaran bagi pemanjat mengenai “masalah” yang akan mereka hadapi.


Di Pantai Siung grade masing-masing jalur cukup bervariasi antara 5.9 hingga 5.13b. Satuan ini merujuk pada Yosemite Decimal System (YDS) yang umum digunakan di Indonesia, mengadaptasi grading system Amerika.
 

 Sedikitnya jalur yang saat ini layak panjat membuat para pemanjat hanya menggunakan beberapa jalur saja. Jesse dan Andrea bahkan mengulang-ulang beberapa rute yang telah mereka taklukkan sebelumnya.
Beberapa rute yang layak panjat di antaranya rute Pacaran di Siung (5.9), Iruka (5.9), Imori (5.10a), atau rute Welcome yang menyambut pemanjat di Blok A Pantai Siung. Bahkan hanya tersisa lima dari sembilan hanger di rute Kuda Laut (5.11) yang menjadi ikon lokasi ini,. Sedangkan rute Arek Soro (5.13b) masih tetap kokoh tanpa seorangpun yang menaklukannya selama beberapa hari terakhir.

 Walau demikian, kepuasan terpancar dari para pemanjat yang berhasil menaklukkan rute-rute di Pantai Siung. Tidak terkecuali dengan Jesse dan Andrea.


Tahun telah berganti, tren pejalan pun akan terus berganti. Di waktu mendatang, bisa jadi akan lebih banyak pemanjat yang menjelajahi tebing-tebing ini. Di sebuah medan petualang paling radikal, sedikit tersirat harapan akan petualangan-petualangan baru yang menanti di hati para penikmat adrenalin ini.
CATATAN:  Postingan ini sebetulnya merupakan tulisan dari penugasan yang gagal dimuat di salah satu majalah. Saya mempostingnya daripada hanya menumpuk memnuhi kapasitas harddisk saya. Gaya penulisannya mungkin berbeda dengan gaya penulisan postingan lainnya karena memang tidak saya edit dari artikel yang saya kirimkan.
 


Leave a Reply