Rappelling Curug Telu

Posted by on Tuesday, June 7, 2016


"Daya jelajah manusia yang semakin luas. Tren wisata dan perjalanan meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Membuat surga-surga tersembunyi tersingkap tak lagi tersembunyi. Menyisakan tempat-tempat indah yang sulit dijangkau. Namun bagaimanapun, pengetahuan dan rasa keingintahuan, terlebih keinginan dan semangat kebaruan membuat manusia dapat mengakses tempat-tempat yang sebelumnya tampak mustahil dapat diakses. Teknik dan teknologi peralatan yang berkembang, ditambah gaya hidup menciptakan pasar, industri, dan komersialisasi wisata. Semuanya demi memuaskan hasrat dan pemujaan manusia terhadap keindahan alam. Manusia semakin merasa memiliki alam yang seakan semuanya dalam genggaman. Sebuah romantisme yang akan diwariskan pada keturunan dan generasi penerusnya". 


07 Juni 2016. Hari kedua puasa ini tampaknya waktu berjalan lambat. Aku melihat ke sekeliling kubikelku dan beberapa rekan kerjaku terlihat menunduk terlelap. Lengkap dengan backsound musik evergreen yang mengiringi nafas mereka.

Aku hendak menceritakan pengalamanku yang sebenarnya sudah sangat lama belum aku ceritakan. Tetapi aku tidak ingin dokumentasi ini cuma bersarang di harddisk-ku, jadi aku mencoba merangkai ingatanku untuk aku ceritakan pada kalian. Walaupun sebenarnya dokumentasinya sudah sangat basi.

Entah kenapa aku selalu menyukai kota ini. Purwokerto. Walau bukan kota tempatku lahir, namun banyak sekali yang aku dapatkan di sini. Dan apa yang mungkin bisa aku dapat lagi dari kota ini, tampaknya tak akan habis. 

Seingatku, aku pertama kali mengunjungi tempat ini di pertengahan 2012, bahkan sebelum aku mengenal canyoning. Curug Telu, sebuah air terjun yang berada di Desa Karangsalam Kecamatan Baturraden. Air terjun setinggi kurang lebih tiga puluh meteran dengan debit air besar yang selalu stabil di setiap musim. Sehingga PDAM menggunakannya sebagai sumber air bersih yang mengalir melalui pipa-pipa ke pusat kota Purwokerto.

Lokasinya sedikit tertutup rerimbunan pohon bambu menyajikan kesan wingit dan lembab. Ditambah cerita-cerita orang lokal mengenai kerajaan gaib kasat mata di antara ketiga air terjun yang mengalir. Telu dalam Bahasa Jawa berarti tiga, nama Curug Telu diambil dari tiga air terjun yang mengalir tersebut.

Tidak butuh ertahun-tahun untuk menggeser imej kewingitan Curug Telu menjadi sebuah tempat yang megagumkan. Hanya butuh bebeapa akun instagram dan social media yang memposting tempat itu, maka dalam sekejab Curug Telu dikenal masyarakat secara massif. 

Dan begitulah, aku melihat perbedaan yang signifikan antara tahun 2012 dan penghujung 2014. Keagungan air yang tercurah dari ketinggian puluhan meter beserta tebing-tebing breksi pada bagian atasnya masih teta di sana. Namun banyak orang yang kian marak mengunjunginya. Tapi aku menyadari bahwa tampaknya itu masih belum puncaknya. Gelombang viral di sosial media masih terus meningkat, seiring dengan itu juga wajah curug ini masih akan berubah.

Seiring dengan itu, ada perbedaan juga dalam cara pandangku terhadap tempat ini. Saat ini, apa yang aku lihat dari Curug Telu adalah tantangan. Ya, tantangan. Sejak 2012 aku lebih mengenal teknik, khususnya tali temali, dan sekarang aku sudah mengenal canyoning.

Maka apa yang aku lihat dari Curug Telu adalah sebuah lokasi yang menyenangkan untuk rappelling dan abseiling. Semangat kebaruan dan rasa ingin tahu pun menuntunku untuk menjelajahi curug ini. Maka untuk pertama kalinya aku melihat Curug Telu dari sudut pandang yang berbeda. Sebuah pemandangan eksotis yang sangat jarang aku temui. Ada rasa takjub dan sedikit rasa was-was.

Komposisi warna hijau dari rerimbunan pohon, kontur batuan kecoklatan, dan jernihnya air yang seakan tampak jatuh perlahan. Apa yang aku lihat dan aku rasakan juga bisa jadi merupakan apa yang dirasakan orang pertama bergelantung dari atas ketinggian Curug Telu. Rasanya aku betah berlama-lama menikmati setiap detail kemegahan ini.

Di sisi lain, was-was karena aku tahu ada kerentanan anchor yang aku gunakan. Maka pada suatu waktu, tak lama berselang setelah aku mengunggah foto-foto dokumentasi ini ke instagram, aku menolak memberitahu viewer yang menanyakan mengenai anchor. Tentu saja aku tidak ingin mengambil resiko mempertaruhkan nyawa orang lain karena berbuat ceroboh.

Ketenaran Curug Telu tidak sampai di situ. Pada pertengahan 2015, aku merencanakan untuk menghabiskan salah satu libur sabtu-ku untuk rappeling di Curug Telu kembali. Aku kembali dibuat takjub dengan banyaknya warung dan warga yang membuka usaha di sekitar lokasi curug. Pengunjung pun saat ini sudah dikenai tarif masuk.

Wajah Curug Telu juga terasa berubah. Tak lagi terkesan wingit. Kita menjumpai banyak orang di sepanjang jalan kecil menuju curug. Tak hanya manusia yang merubah wajahnya, alam pun membuatnya berbeda. Saat aku menuruni meter demi meter tali kernmantel untuk rappelling, aku melihat ratusan kelelawar yang sekarang menghuni cerukan curug. Rumah lebah berukuran setengah meteran menggantung sekitar dua meter dari anchor kami.

Ada perasaan takut dan pasrah jika lebah-lebah yang waspada menyerangku. Tapi kembali rasa kebaruan terkadang mengalahkan rasa takut manusia. Demi keingintahhuan mereka.

** Terima Kasih untuk Kukuh Sukmana atas sebagian fotonya. Serta Tim PPA Gasda untuk semua bentuk supportnya.



One Comment

  1. sebenernya rappelling ini termasuk canyoning bukan sih? tapi sepertinya canyoning lebih asik deh

    ReplyDelete