Di Timur Indonesia 3 : Deep Water Soloing Labengki

Posted by on Monday, June 6, 2016


Lalu sebagian di antara kita, mereka mampu melihat menembus beton dan tembok yang mengekang zaman. Keluar dari batas kehidupan, dan memperluas pandangan. Menemukan sebuah kecil pijakan yang menjanjikan kebebasan. Maka nampaknya, bagi mereka, itu adalah sebuah kemungkinan yang tak terbatas. Lalu mereka berjalan, dan menemukan tempat baru di ujung garis depan. Dan bergitulah mereka terus berjalan, berada di depan, dan menentukan batas baru dalam peradaban. Karena pada dasarnya, impian tak dapat diwujudkan tanpa kemauan. Harapan, akan selalu ada bagi mereka yang memiliki keyakinan. Lalu saat kita mulai berjalan, mereka mencapai seberang cakrawala yang menutupi pandangan. Tapi pada akhirnya, semua orang akan memilih sebuah keputusan. Memilih sebuah tujuan dan kebebasan. Atau diam tanpa melawan, menukarkan dirinya pada gaya hidup kekinian.

30 Mei 2016. Ini artikelku terakhir mengenai Indonesia timur, tapi beberapa waktu mendatang mungkin aku update lagi mengingat ada kemungkinan aku bakal sering mengunjungi Sulawesi tenggara, khususnya Pulau Labengki.

***

Aku teringat pada suatu malam di tahun 2007 saat aku dan seorang temanku, Adam Ramadian memasang foto-foto berbingkai karton seadanya di sebuah tempat legendaris di kota halamanku. Kebon Kopi dan Pondok Seni, malam itu adalah pembukaan pameran foto kecil-kecilanku dan temanku itu. Pembukaan pameran foto swadana, swadaya, dan nyaris swapemirsa juga.

Lalu pada malam-malam berikutnya selama hampir satu minggu kami menunggui "booth" itu sambil memandangi pengunjung pondok seni yang sesekali menatap ke arah foto-foto kami. Memang apa yang kami alami waktu itu cukup miris. Seakan pengunjung kafe ini sibuk dengan kesibukan mereka tanpa mempedulikan karya, atau setidaknya aktifitas kami. Saat itu hobi fotografi memang belum menggejala. Kami datang tepat di saat dunia fotografi mengalami revolusi industri. 

Saat itu adalah semester keempatku di kuliah, teknologi dan industri fotografi dilanda revolusi digital. Kalian mungkin telah mendengar beberapa perusahaan film negatif yang menutup usahanya. Tak sedikit juga fotografer dan studio foto yang mengalami kebangkrutan karena tak didukung kapital yang memadai. Sebab, fotografi analog tergeser oleh pasar kamera digital. Di sisi lain, perkembangan teknologi fotografi menawarkan sebuah kebebasan dan cara pandang baru. Serta kemudahan dan kesempurnaan.

Di sela-sela waktu pameran, aku teringat seorang temanku yang menanyakan untuk apa kami menggelar pameran itu. Saat itu memungkin aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Harapan naifku hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi setahun atau bertahun mendatang. Aku meyakinkan pada diriku bahwa ada yang aku dapatkan, walaupun aku tak tahu apa itu. Maka pada kesempatan lain, aku dan Adam sepakat untuk mengumpulkan pegiat fotografi di Purwokerto untuk membentuk sebuah forum diskusi. Kebetulan yang akhirnya datang dapat dihitung dengan jari. Miris.

Kami mungkin bukan yang sendiri mengalami pengalaman serupa. Teman-temanku yang memiliki hobi musik mungkin harus berjuang lebih keras. Mengadakan event musik kecil-kecilan di tempat-tempat yang terkadang mengundang warga sekitar untuk membubarkannya karena selera musik yang melenceng jauh dari dangdut dan campursari. Berlatih setiap hari di studio musik yang menguras uang saku, lalu menampilkan kemampuan mereka di hadapan penonton yang minim. Tak jarang juga dengan tarif tiket masuk seadanya.

Kotaku, Purwokerto, adalah sebuah kota kecil di mana sebagian besar masyarakatnya yang konservatif dan cenderung menghindari masalah. Bahkan untuk saat itu bisa disebut apatis. Di sisi lain, pola pikir masyarakatnya secara kolektif menciptakan suasana yang tenang, damai, dan cenderung meninabobokkan siapa pun yang tinggal di sana.

Saking tenangnya, hingga sangat jarang terjadi gejolak akibat pola pikir baru. Organisasi pun banyak yang tidak berkembang kecuali dengan muatan politik dan kepentingan. Dan tren, terutama fashion, berkembang cukup lambat. Mungkin itulah sebabnya kota ini cukup dikenal dan sebutan "ndesa" yang melekat walaupun beberapa universitas tumbuh di kota ini. Tertinggal beberapa tahun dari kota besar lain.

Namun bagaimanapun konservatifnya suatu tempat, arus teknologi dan pendatang menggerus pola pikir masyarakat. Secara cepat, masyarakat mulai adaptif dengan perubahan zaman. Dinamika tren dan komunitas terjadi dengan mengikuti sebuah pola yang mudah diamati. Semua tren, apapun itu, dimulai dari sebuah titik awal yang dilahirkan dari para pionir atau bahkan martir. Mereka adalah pembuka jalan dan peletak dasar pondasi tentang sebuah gagasan baru. 

Bagaimanapun, waktu akan menjawab perjuangan para pionir dan membuka pandangan orang umum mengenai sebuah gagasan. Maka gagasan tersebut menjelma menjadi sebuah tren. Pada puncaknya, tak jarang tren berkembang secara sporadis dilandasi ego mereka yang berkutat di dalamnya. Lalu terciptalah konflik-konflik kecil yang membumbui dinamikanya. Hingga saatnya tiba, tren itu kemudian berangsur meredup menyisakan sebagian orang yang lolos dalam seleksi alam. Mereka adalah orang-orang yang konsisten atau terlanjur menceburkan diri dan basah di dalam tren itu. Beruntunglah jika gagasan itu tetap bertahan bersama orang-orang yang konsisten. Jika kurang beruntung, maka gagasan itu hilang bagaikan jejak asap ditelan angin dan waktu.

Aku hendak menceritakan sedikit apa yang mungkin dirasakan oleh para pionir dan martir bersama harapan dan cita-citanya yang sebagian orang anggap naif. Ada sebuah perasaan yang sama di antara mereka, untuk menciptakan tatanan baru. Harus ada sebuah gerakan di antara ketiadaan sebagai pijakan gagasan. Tak jarang, itu bukan berdasarkan keinginan. Tetapi lebih dari itu, sebuah tuntutan keadaan. Sedangkan bagi mereka, itu adalah sebuah ujian untuk membentuk mental yang militan. Membentuk sebuah generasi yang tercipta untuk mencipta, bukan sekedar memanfaatkan yang sudah ada.

Bukan hanya eksistensi, namun karena naluri dasar manusia untuk bertahan. Agar tetap bisa melangsungkan hasratnya. Tuntutan keadaan dan satu-satunya pilihan. Terkadang Mental militan ini menggejala secara massal dan kolektif. Tidak hanya dikota kami, tetapi secara masif dan global. 

***

Sore itu pikiranku mungkin menerawang terlalu jauh, memabayangkan teori tak berdasar yang aku ceritakan barusan. Sebuah perasaan yang terpantik dari sebuah pertanyaan. Seorang ibu pengurus dapur di vila Pulau Labengki yang belum jadi ini sebelumnya melontarkan pertanyaan. Ia bertanya perihal luka lecet dan sayatan karang di lengan dan lututku akibat bouldering seharian tadi. Bagaikan efek domino, pertanyaan itu disusul sebuah pertanyaan yang dapat aku tebak.

Mungkin dia merasa aneh melihat seseorang melakukan aktifitas panjat tebing di lokasi diving center. Orang datang dari jauh untuk menikmati panorama bawah air, tapi aku lebih memilih berdarah tersayat karang dan tebing. Sehari sebelumnya aku dan Arka Setiawan mendayung kayak mengarungi Teluk Kimaboe, keluar sedikit agak jauh menuju laut lepas di sebelah barat vila. 

Menuju gugusan karang bernama Pulau Almamirah, nama yang diberikan oleh pengelola vila. Kami memasang bolt untuk anchor waterline. Arka menamainya Namek Slackline.


Tapi bukan itu yang membuatku lecet dan luka baret. Sejak hari pertama aku hingga hari keempat aku di sini, yang bertepatan dengan libur panjang di akhir April aku sudah memanjat gugusan karang di areal seluas lebih dari 200 hektar ini. Melintasi sudut-sudut pulua-pulau ini dengan kapal cepat milik pengelola vila, kayak tandem berdua dengan Arka, atau berenang dari karang ke karang mengandalkan kaki katak dan snorkel untuk bernafas.

Hasilnya, beberapa rute dengan grade 5.11-5.12b. Karakter batuan di sini  serupa dengan batuan di siung. Pada hari pertama aku memanjat dinding tertinggi di Teluk Dolipo dengan sebuah crack besar di tengah. Rute setinggi tiga belasan meter itu aku panjat free solo dengan titik landing di air hanya sedalam satu meteran. Rute itu aku namai Journey of A Non-Believer (5.11C). Tepat di sampingnya, sebuah rute yang belum aku selesaikan. YMG, kepanjangannya (You May Good At Class, Not In The Wild) yang bagiku tampak memiliki grade 5.12. Pada tiga hold pertama berupa overhang yang menghabiskan tenaga.


Lalu pada hari berikutnya kami menumpang kapal yang membawa beberapa tamu menuju dive spot, menurunkanku dan Arka untuk berenang beberapa ratus meter menuju gugusan karang di tengah laut. Sebuah dinding sekitar delapan hingga sepuluh meter dengan kemiringan lima belasan meter telah menyita perhatianku sejak pertama aku survei di kawasan ini. Tebingnya tampak rata bagaikan kaca. Jika jatuh, aku akan langsung menghujam ke laut sejernih kristal sedalam empat meteran. Adalah sebuah keberuntungan sendiri menemukan tempat itu dan menyematkan nama untuk rute pertama. Atau bisa jadi kami juga menjadi manusia pertama yang merayap tegak lurus di karang itu. 

Aku menamainya "Magic Pinch" (5.12), dan kamu pasti paham alasanku memilih nama itu. Letaknya di Baracuda Point, sebuah gugusan karang di ujung utara Pulau Mahuwang. Aku melihat seekor baracuda seukuran setengah meteran yang dengan lincah mengejar ikan-ikan kecil dari atas karang itu. Menjadi inspirasi untuk menamai lokasi itu. Dan, dari puncak karang itu, terjun bebas adalah hal menarik lainnya.




Kapal tadi menjemput kami sekitar dua jam kemudian dan mengantarkan kami di tepi Pulau Mahuwang yang berpasir putih hingga ke dasar lautnya. Di slah satu sudutnya, berserakan kulit-kulit kima (kerang raksasa) berbagai ukuran. Salah satu orang lokal pemandu kami mengetakan itu adalah sisa-sisa bekas pencurian kima. Di dekatnya menjulang tebing, lalu sambil memandanginya Arka berucap "Dulu waktu aku ke Fountainbleau, ada L'elephant. Bagiamana kalau bikin rute di sini dan dinamai Le Badak?".


Lalu kami menentukan titik-titik point. Tampaknya rutenya cukup sulit untukku. Gradenya sekitar 5.12. Dan benar, rute berisi block-block yang menguras tenaga itu tak dapat aku tamatkan hingga siang. Lalu overhang di sampingnya cukup menyita perhatianku. Gurita Malam (5.11b) menjadi satu rute yang aku tamatkan di tebing yang sama. 



Kami kembali menumpang kapal, kali ini menuju Pulau Mahumalala Besar. Tujuan mereka adalah sebuah laguna biru di tepi Teluk Mahumalala. Pagar-pagar batu runcing menjulang dengan ketinggian sekitar tiga meter. Mengelilingi pulau dan membatasi vegetasi itu dengan teluk. Mengisolasi kawasan dan membuatnya tampak seperti taman jurasik. Lengkap dengan pohon berbatang lurus dan berdaun runcing.

Pemadangan itu tak henti-hentinya membuatku takjub dan berbinar. Sebuah lokasi yang sempurna untuk deep water soloing. Kontur karangnya sangat datar layaknya kaca, dan dari sela-sela bagian bawahnya mengalir air payau dingin dari laguna yang disebut Blue Lagoon itu. Aku pun tak menyia-nyiakannya dengan menyematkan nama "Needle Point" untuk kawasan itu. Aku mengkhayalkan dapat membuat jalur di seluruh sudut kawasan itu, memetakannya, dan menuangkannya dalam sebuah buku. Tapi saat ini, khayalanku itu hanyalah mimpi belaka.

Aku mengamati dan berorientasi medan di pagar-pagar karang seruncing jarum dan mencari hold-hold yang mungkin bisa menjadi rute. Tampaknya mustahil. Skill penjat tebingku tak sehebat itu. Maka mulailah aku mencari titik awal untuk mulai memanjat. 

Beruntung aku menemukan sebuah stalaktit yang tampak seperti volume, memeluknya, memenjatnya, dan mengerahkan seluruh sisa tenagaku hari itu untuk bisa melampauinya. Di atas volume itu aku mulai meniti pijakan-pijakan menyamping. Sebuah rute traverse dengan grade yang cukup mudah mengakhiri petualang deep water soloing-ku pada kesempatan itu. Aku menamainya "Biru" (5.11).

Bagiku, beberapa rute yang aku selesaikan cukup menggantikan hitamnya kulitku yang  terpapar sinar matahari, luka lecet dan baret. Meninggalkan sejuta kesan dan kepuasan yang tak terungkapkan. Lalu kembali pada pertanyaan ibu dapur di vila. 

Mungkin semua teori tanpa dasar yang tadi aku ceritakan adalah jawabannya. Siapa tahu suatu saat tempat ini tak hanya dikenal sebagai lokasi diving, tetapi juga lokasi panjat tebing. Siapa tahu. Tapi tentu saja, selalu ada seseorang-atau sesuatu-yang haru mengawalinya. Bukankah begitu?

Leave a Reply