Canyoning + Waterlining Curug Karang

Posted by on Friday, November 21, 2014


Hidup kita semacam rangkaian cerita yang tak terputus hingga berakhir pada detik di mana kita menghembuskan nafas terakhir. Terlepas dari ada atau tidaknya keberadaan alam setelahnya, cerita kita telah habis. Dan hidup kita menjadi bagian dari cerita orang lain dengan cerita berbeda. 

Layaknya sebuah cerita, ada segmen-segmen dalam hidup di mana antara satu dengan yang lain saling terkait. Terkadang kita melupakannya, dan kembali menyadarinya bertahun setelahnya. Seperti efek domino. Atau mengurai benang kusut, saat kita menemukan salah satu ujung, kemudian baru menyadari bahwa itu merupakan bagian dari ujung lain.




Aku membuka folder berisi foto-foto lama dengan judul "Self portrait". Dan menemukan foto di atas yang diambil tujuh tahun lalu di kota ini, Purbalingga. Kota kelahiran dan kampung halamanku. Saat itu trend kamera dslr baru menggejala. Foto-foto ini otentik mencerminkan aku yang masih lugu dalam belajar fotografi dan mencoba segala jenis gaya imaji foto. Kalian bisa melihatnya dari style yang "polaroid wannabe" menggunakan preset photoshop gratisan yang bisa dengan mudah didownload di devianart.com. Kalian bahkan bisa melihat frame putih di tepian dan bawah foto yang baisanya digunakan untuk menuliskan caption. Saat itu, tren toycam, polaroid, dan preset-preset photoshop memang sedang sangat ngertren.

Cerita di balik foto itu, saat itu aku sedang menjadi mahasiswa full time. Harian tempat kerjaku mengalami kebangkrutan, dan terpaksa mem-phk semua karyawannya, tidak terkecuali aku. Seniorku di organisasi pecinta alam SMa mengajakku menggeluti olahraga whitewater kayaking (walaupun kalau di Indonesia sebagian besar berair keruh).

Berawal dari satu orang, berkembang menjadi enam orang termasuk aku, kemudian terus berkembang menjadi sekolah kayak pertama di Indonesia dengan nama Tirtaseta Kayak School. Di kota kecil ini, terlebih saat budaya berkomunitas belum membudaya, menemukan sebuah komunitas yang settled dan memiliki semangat, bagiku adlaah sebuah pijakan yang sangat potensial. Aku sempat melihat masa depan dalam aktifitas ini.

Baru sekitar dua bulanan aku menggeluti kayak, sebuah harian lain kembali menawariku pekerjaan pada posisi wartawan foto. saat itu aku sedikit kebingungan untuk memutuskan konsisten di kayak atau fokus di jurnalistik agar dapat mempelajari semua materi yang bisa aku ambil.

Akhirnya aku memutuskan untuk fokus di dunia jurnalistik. Sesekali aku mengunjungi mereka dan kembali mencoba kayak. Dan sesekali aku juga geregetan saat melihat mereka eksebisi dan mendengar cerita pengarungan-pengarungan mereka. Namun tampaknya aku sudah menceburkan diri dalam jurnalistik dan aku pun harus berusaha mengambil sebanyak-banyaknya apa yang mungkin aku dapatkan dari bidang itu.

Hari ini aku masih mengandalkan skillku di bidang fotografi dan menulis untuk survive. Namun tetap, aktifitas outdoor masih menjadi priotitasku. Aku masih membekali diri dengan semua skill lapangan, dan terus mencari celah untuk dapat menyatukan disiplin-disiplin ilmu tersebut secara komprehensif.

Memang membutuhkan usaha yang keras mengingat dua hal tersebut -jurnalistik dan aktifitas outdoor- masih emrupakan hal yang belum umum di negara ini. Pilihan bagiku, hanya ada dua : menjadi pionir, atau martir. Sebuah jalan panjang memang, tetapi bagiku, hingga hari ini aku masih berdiri dan berjuang. Kalau kalian membuka laman Home dan melihat tulisan besar LIFE FREE SURVIVE, setidaknya inilah yang menjadi sedikit penjabaran tentang motto itu. Sebuah miniatur tentang isi kepalaku. Tafsiran akan makna-makna kehidupan, mimpi akan kebebasan, dan sebuah upaya untuk bertahan melewati hidup itu sendiri. Lingkaran atas persepsi, manifestasi, dan implementasi. 

***

Minggu, 26 Oktober 2014. Masih ingat ceritaku saat membuka rute canyoning baru di Purbalingga? Artikelnya bisa kalian lihat di sini. Beberapa hari yang lalu hujan mulai meghujam dari langit secara terus menerus. Ini berarti musim olahraga arus deras (ORAD) sudah datang. Musim yang ditunggu-tunggu oleh pegiat olahraga kayak, termasuk senior-seniorku di Tirtaseta.

Pantaslah jika beberapa hari lalu mereka mengubungiku dan mengajakku untuk berkatifitas tandem, canyonig dan juga kayaking. Walaupun ada sedikit pertanyaan tentang teknisnya, namun aku yakin mereka paham tentang konsep canyoning dan bagaimana memadukannya dengan kayak. Aku tak banyak bertanya dan langsung mengkoordinir beberapa orang yang mungkin berminat ikut. Aku masih mencoba menebak-nebak tentang teknis pelaksanaannya.

 Kang Puji seniorku, ia menyebut Curug Karang sebagai lokasinya. Aku masih ingat betul medan spot ini karena belum genap sebulan aku mensurvey lokasi ini. Maka terlintaslah sedikit banyangan tentang teknis pelaksanaannya. Memang curug itu bertingkat tiga dengan masing-masing tingkat terdapat kolam yang cukup lebar. Ditambah hujan yang beberapa hari menguyur pastilah debit air naik dan mereka akan berlatih mengarungi jeram walaupun treknya tidak telalu panjang.

Aku juga memikirkan tentang watelining di antara kolam-kolam itu, atau ada dua pohon yang telah aku amati sebelumnya yang memungkinkan untuk aku gunakan sebagai anchor dengan ketinggian sekitar tiga puluh meter. Tepat di atas air terjun.

Kami berangkat dalam tiga rombongan. Aku berangkat sendiri dari rumah dan bertemu dengan Jalom, Rio, Kukuh, Ndenk, Nyaman, dan istrinya Pipit yang berangkat dari Purwokerto. Rio sangat tertarik dengan kayak dan ia cukup antusias saat aku ajak untuk menoba olahraga ini. Sedangkan Kang Puji, Kang Toto, Nafi, dan Riski berangkat dari base camp Tirtaseta. Mereka membawa peralatan lengkap, lengkap dengan mobil operasional lama mereka bertuliskan Tirtaseta Kayak School di body mobil. Kami semua berangkat dengan satu tujuan di Kecamatan Rembang. 

Pukul sebelas kurang kami semua bertemu di Curug Karang. Tampaknya mereka salah perhitungan. Debit air yang mengalir di Sungai Karang ternyata tidak memadai untuk beraktifitas kayak. Jeram-jeram di kolam-kolam itu pun tidak terisi terlalu tinggi, bahkan memungkinkan untuk merusak perahu jika tetap diarungi.

Kami pun gagal mencoba kayak. Tetapi kepalang tanggung, kami sudah berada di lokasi, kami pun memutuskan tetap mencari spot untuk rappelling dan waterlining. Tampaknya tidak banyak opsi untuk lintasan waterlining di sungai ini. Tetapi beruntung kami menemukan dua celah yang bisa kami gunakan untuk lintasan waterlining. 



Pengunujung yang memadati tempat itu cukup antusias melihat kami. Mereka riuh saat melihat aku dan Jalom mencoba lintasan, dan tertawa saat kami jatuh. Beberapa di antara mereka pun mencobanya. Begitu juga dengan anggota Tirtaseta. Riverboard yang mereka bawa juga tampak cukup mengobati kekecewaan sebagian dari kami yang ingin mencoba kayaking.


Sementara mereka disibukkan dengan waterlining, aku mengajak Nyaman untuk melihat pohon yang akan kami gunakan untuk rappeling. Ada dua pohon di sisi kanan dan kiri air terjun yang letaknya cukup strategis. Pohon sebelah kiri dapat kami gunakan untuk abseiling, letaknya berada tepat di atas aliran air terjun dan dasarnya lagsung menuju permukaan air.

Sedangkan pohon di sebelah kanan lebih berupa tebing dengan permukaan yang berlekuk, lebih cocok untuk rappeling. Dan bagian dasarnya berupa batu dan perairan dangkal. Tetapi pohon ini lebih mudah dijangkau dengan akses yang relatif terbuka. Cukup ngeri juga jika membuka rerimbunan di dekat pohon sebelah kiri tanpa perlatan memadai. Terlebih setelah kami menjumpai beberapa ekor ular berkeliaran di sekitar curug. Begitu pun saat aku mensurvey tempat ini beberapa waktu lalu.

Setelah berdiskusi, aku dan Nyaman memasang anchor untuk rappelling dan membersihkan medan yang akan kami turuni. Kami akan turun melalui pohon sebelah kanan, pertimbangannya adalah faktor keselamatan dan upaya antisipasi mengingat kami belum paham betul seluk beluk medan ini.

Aku dan Nyaman rappelling pertama dan sukses tanpa ada halangan sesuai skenario kami. Nyaman memiliki pengalaman sebagai anggota mapala dan hingga saat ini ia masih bekerja di salahsa tu provider outbond di Jakarta. Aku sama sekali tak meragukan pengetahuan skillnya. 

Giliran berikutnya adalah Pipit dan Ndenk. Oke, ini tantangan bagiku. Ndenk belum pernah sekalipun rappelling, begitu pula dengan Pipit. Dan lagi, ia tidak bisa berenang. Tetapi itu tidak aku cemaskan karena helm dan pelampung telah melekat dibadannya. Aku hanya berharap dia tidak panik saat berada di ketinggian nanti.

Aku meminta Jalom untuk menjadi belayer bawah dan mengawali rappelling sesi ini. Sementara itu, aku memberi pengarahan dan sedikit simulasi tentang cara rappeling kepada Ndenk dan Pipit. Setelah dirasa siap, Ndenk turun pertama dengan lancar. 
 Aku turun membimbing Pipit melewati semak dan tanah gembur. Pijakannya tampak tak teratur dan beberapa batu meluncur ke bawah. Helm dan harnest merk lokal yang sedikit kedodoran tampak membuatnya kurang nyaman. Tak perlu panik, kataku. Kami sampai di pohon tempat kami transit. Jalom dan Nyaman yang berada di sungai bawah kami berteriak-teriak. AKu tidak mendengar ucapan mereka dengan jelas karena debur air terjun yang sangat kencang. Aku melihat ke bawah, ternyata tali yang tadinya digunakan untuk mentransfer harnest tersangkut di salah satu pitch tebing.

Aku berpikir cepat dan menjelaskan situasinya kepada Pipit. "Tali menyangkut di tebing, jadi tidak ada belayer bawah. Aku harus membetulkan posisinya. Yang penting jangan panik, kalau tali yang kamu di tangan kanan terasa ada tarikan, itu berarti kamu siap untuk turun. Sementara itu, kamu jangan panik dan buat posisimu senyaman mungkin. Kamu akan sendiri untuk sementara", jelasku.

Masalah lainnya, tali delapan milimeter yang aku gunakan tidak sampai ujung. Ini berarti aku harus bisa mengayun dan menjangkau akar besar di atas pitch. Melepas tali pengamanku, dan climb down sekitar satu meteran. Memang itu bertentangan dengan prosedur keamanan, tetapi itu adalah satu-satunya opsi yang harus aku lakukan. Kalau sampai aku salah perhitungan, bisa jadi aku akan terjebak dan menunggu dievakuasi karena aku tidak membawa perlatan ascending. Sedangkan lompat ke sungai dengan kedalaman sepinggang dari ketinggian delapan meteran adalah hal yang konyol. Aku harus melakukannya tanpa kesalahan, atau tidak sama sekali.

Berusaha menjadi pahlawan bukanlah hal yang tepat, melainkan hal konyol yang hanya akan membawa pada situasi yang tidak sebanding dengan resikonya. Dan tentunya akan menyulitkan orang lain juga. Aku meyakinkan diri untuk cukup percaya diri dengan kemapuanku menyelesaikan masalah ini. Aku berkata pada diriku bahwa aku telah dipersiapkan dan mempersiapkan diri sejak bertahun lalu. Aku memiliki bekal yang cukup untuk menyelesaikan hal ini, pikirku.

Aku hampir mencapai ujung tali yang aku gunakan untuk rappelling, menyimpul tali pada discender agar kedua tanganku dapat aku gunakan, lalu mengayung untuk menjangkau akar. Hap, tangan kiriku berhasil menjangkaunya dan segera melepas tali rappelingku. Climb down menuju pitch yang seketika terdengar suara berderak dari atas. Aku yakin batu besar atau dalam jumlah banyak sedang meluncur. Aku tidak menggunakan helm dan merapat ke dinding tebing tanpa melihat ke atas. Hanya berharap terlindung oleh akar di atasku. 

Benar saja, sekelompok batu dan kerikil mencebur ke air dan kulihat ekspresi orang-orang di bawah sana yang masih khawatir. Pekerjaan belum selesai, aku harus melempar tali ke belayer bawah, menunggu Pipit turun, lalu menunggu giliran menggunakan tali untuk rappeling.

Aku belum bisa menghilangkan keteganganku, dan berusaha keras tetap berpikir jernih. Di saat seperti ini aku berpikir sedikit bersyukur. Aku sering kali dihadapkan pada situasi sulit, berhaya, dan tantangan sebenarnya. Tak jarang pula harus berhadapan dengan ketidaknyamanan. Tetapi terkadang pilihan untuk tidak menyerah selalu membawa kita pada pengalaman baru, mendorongku untuk melampaui batas-batas tertentu, dan mendefinisi ulang mengenati arti batas-batas itu.

Bisa jadi, detik di saat aku menyerah, pada saat itulah hidup berakhir. Tetapi aku masih bertahan, ini bukan semata tentang nyali, dan sensasi. Ini merupakan sebuah ujian untuk mengapilkasikan apa yang kita miliki -pengetahuan, kemampuan, dan kekuatan fisik- pada situasi sebenarnya. Sebuah penghargaan bagiku hanyalah sebuah pertanyaan "berapa banyak orang yang mau atau mampu melakukan hal yang sama?". Di saat persoalan itu terselesaikan, keterampilan kita semakin terasah.

Pipit mulai meluncur melewatiku dan itu berarti problem solved, setidaknya sebentar lagi. Begitu sampai di bawah, aku menggunakan tali untuk meluncur turun. Aku masih harus naik melalui jalan setapak menanjak dan membimbing Nafi dan Kang Puji untuk rappelling. Semuanya berjalan dengan lancar dan selesai menjelang petang. Kelelahan hari ini terbayar oleh pengalaman baru dan satu rute waterline baru. Jalom yang menamatkan lintasan terlebih dahulu memberinya nama "Punyakita".






Ngomong-ngomong, acara ini juga muncul di harian lokal. Berikut harian lokal yang dimaksud :


Leave a Reply