Minggu, 22 September 2013. Mobil yang dikendarai Haryo Pandhu dari MEPA UNS membawaku menyusuri jalanan sepi di tengah perbukitan karst Gunung Kidul sebelum akhirnya kami memasuki kawasan pemukiman yang dipadati rumah-rumah joglo tua. Pertanda kami telah berada di perbatasan Gunung Kidul - Pracimantoro. Kedip lampu redup rumah-rumah joglo itu tampak nostalgis untuk diriku. Sering ayahku sering menyebut nama Pracimantoro sebagai tempat asal kakek buyutku yang membuat kesan tersendiri untukku.
Aku masih terbayang sedikit rasa enggan untuk meninggalkan Pantai Siung yang terasa sempurna untuk mengasingkan diri. Ditambah sedikit rasa kurang puas karena tak dapat mengalahkan angin dan menamatkan lintasan longline siang tadi. Dan kekecewaan yang terberat adalah tanganku yang cedera membuatku tidak dapat maksimal untuk tricklining.
Di antara rasa lelah dan mengantuk, merebahkan diri di kasur rumah Sadham adalah satu-satunya penghargaan yang cukup untuk menutup hari itu. Waktu menunjukkan pukul satu malam, tetapi membersihkan badan dan mencuci pakaian kotor adalah salah satu kewajiban yang pertama kali kulakukan. Mencuci baju di tempat seadanya adalah salah satu insting yang akan terbentuk dengan sendirinya jika kalian sering bepergian. Inilah salah satu bentuk mengakali keadaan agar dapat -misal- bertahan sembilan hari dengan bekal dua setel baju dan satu setel baju cadangan. Selain pengalaman itu, aku pernah merasakan mencuci di wastafel salah satu losmen dan menjemurnya di sebelah tempat tidurku.
Tangan kiriku terasa nyeri saat memeras pakaian yang kucuci, sudah dua minggu tangan kiriku tak berfungsi maksimal. Cedera ini dimulai dua minggu sebelumnya saat UKM Expo di Kampus Bahasa Inggris Unsoed dalam program rekruitmen Mapala Green Corps Jurusan Bahasa Inggris Unsoed. Saat meniti longline, alih-alih melakukan trick surfing, tekanan tali satu inchi Blue Wing-ku ternyata sangat besar. Akibatnya, aku terpental dan jatuh dalam posisi tangan kiri menyangga tubuh. Dan voila, cedera pun kudapat.
Walau sudah diurut tukang pijit langganan, tapi tetap saja menyisakan rasa sakit yang sangat. Pelajaran yang kudapat saat itu adalah, jangan pernah menertawakan orang yang berteriak saat diurut karena keseleo. Sungguh. Aku sudah membuktikannya. Beberapa hari pertama cedera aku bahkan menggunakan tangan kanan dan mulutku untuk menutup resleting tas. Dan punggung yang gatal pada bagian tertentu bisa jadi sangat menyiksa karena aku tidak dapat menggunakan tangan kiriku untuk menggaruk.
Senin, 23 September 2013. Solo Hari Pertama : Balaikambang.
Aku bangun siang dan mendapat pelayanan yang ramah dari tuan rumah, tetapi tuan rumah justru bangun lebih siang. Siang setelah Sadham bangun, kami habiskan dengan bermalas-malasandengan sedikit rasa pegal-pegal di badan. Menjelang sore, barulah kami beranjak menuju Taman Balaikambang Solo.
Areal taman kota itu menjadi basis Freeslack Crew berlatih. Aku tidak sempat untuk mengeksplor tempat yang baru aku singgahi itu karena terlalu bersemangat di atas tali. Terlebih karena tidak hanya aku dan Sadham yang berlatih. Tak disangka, Arka yang sedang melintas melihat mobil Sadham saat menuju tempat ini. Akhirnya ia pun bergabung dengan kami, serta Deco Nanda a.k.a Jambul dan Septika Libiana yang sudah menunggu di lokasi latihan.
Secara umum, Tika masih belajar berjalan di atas tali. Jambul sudah mulai berlatih melancarkan buttbounce dan chestbouncenya. Sedangkan Arka berlatih variasi dari buttbounce dan foot plant seperti ladybounce, budha bounce, drop knee turn, dan beberapa trick lain. Lalu Sadham, ia tampak sudah menguasai banyak trick. Tampak perkembangan pesat sejak terakhir kami bertemu. Trick andalannya adalah chestbounce, boneless, cross grab, maupun squirell grab. Diakuinya bahwa beberapa gerakannya terinfluence oleh Carlos Neto, atlet slackline asal Brazil. Cukup mengagumkan melihat dia hanya menggunakan Rookie Line dan dua buah matras untuk berlatih.
Bagaimana denganku? Trick-ku masih monoton seputar buttbounce, chestbounce, mojo tap spin, dan variasi buttbounce seperti squirell grab dan cross grab. Kendalaku dan Sadham masih cukup sama, yaitu buttbounce kami belum sepenuhnya "clear" dan tak jarang kami "dabber". Sebenarnya aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan berlatih menggunakan matras, telebih ada partner berlatih. Aku mencoba spiral dan free fall, tetapi tentu saja latihan itu justru memperparah cederaku.
Beberapa anggota MEPA, Freeslack, kopi, dan bakso bakar menemaniku duduk di trotoar Bank Indonesia Solo. Malam itu terasa panjang bersama Basuni yang menggoda waria-waria hingga menjadi hiburan orang-orang yang ada di situ.
Selasa-Rabu, 23-24 September 2013. Benteng Vastenburg.
Sadham on cam. |
Sadham on cam. |
Sadham on cam. |
Aku bangun dengan tangan kiriku yang hampir tak dapat kugerakkan. Aku berencana beranjak dari kota panas nan berbudaya ini hari ini. Tapi aku tidak menarget pukul berapa akan pulang. Itu kenapa aku lebih suka menggunakan bus sebagai transportasi utama karena tidak ada jadwal pasti dan aku dapat pergi kapanpun. Sadham mengajakku berkeliling kota Solo walaupun aku sudah sedikit paham setelah mengunjungi kota ini beberapa kali sebelumnya. Suasana lengang dengan banyak pohon justru menyita perhatian kami saat melewati Benteng Vastenburg depan Bank Indonesia. Pikiran kami pun sama. Slacklining spot!
Mendadak terbersit ide untuk slacklining di tempat itu sekaligus membuat video urbanlining Solo. Bayangan untuk pulang lenyap seketika. Ditambah ada SMS dari Basuni bahwa ada tim Trans 7 yang ingin meliput Freeslack Solo. Dapat dipastikan aku bakal extend dua hari.
Briefing dan take video awal. |
Hari Rabu adalah hari yang bersemangat bagi kami, terutama Sadham. Sekaligus hari yang mengecewakan bagi Basuni karena mendadak ia mendapat tugas kerja di Jogja. Tetapi pertunjukkan tetap berlangsung. Sore sekitar pukul tiga sore kami telah siap dengan peralatan yang digelar di atas matras. Tim Redaksi akhir Pekan dan, presenternya, Roland Lagonda mulai mengambil scene-scene dimulai dari instalasi longline hingga Sadham yang tricklining di atas Freak Line.
Sore yang panas dan berangin, dan Sadham kill it lewat trick-tricknya yang tampak catchy di depan kamera. Yak, sore itu adalah sore milik Sadham. Tuan rumah tampil maksimal. Kami memasang tiga line di tempat itu. Salah satunya adalah instalasi longline Blue Wing yang dipasang sekitar empat puluh dua meter dengan ketinggian dua meter.
Sadham dan cross grab-nya. |
Sadham dan cross grab-nya. |
Butuh tiga hingga lima kali percobaan bagiku untuk akhirnya dapat sukses melewati line itu. Kondisi angin yang tak sekencang Pantai Siung cukup berpihak padaku. Kesulitan justru terasa setelah melewati lebih dari setengah lintasan. Goyangan tali di bagian belakang menjadi sensasi yang baru pernah kurasakan. Tak ada hal lain yang aku pikirkan selain konsetrasi penuh walau sesekali terdengar teriakan "ale... Ale...", dukungan khas bagi para pemanjat tebing untuk menyelesaikan crux saat pertandingan. Dan, yap. Kekecewaan di Pantai Siung cukup terbayar sore itu. Longline terpanjangku berhasil aku lewati. Kepuasan itu terasa "nagih", dan tampaknya aku butuh lebih.
Walau dengan tarikan maksimum, tapi tali masih cukup slack dan "rodeo". |
Sebelum mencapai garis akhir, perasaan terburu-buru kerap timbul, awal dari kegagalan. Salah satu cobaan dalam longlining. |
Lelah sore itu kami bayar dengan mengunjungi Wedangan Slendro, cafe paling menarik di Solo yang pernah aku kunjungi. Nuansa etniknya membuat kami betah berbincang hingga satu per satu pengunjung pulang dan cafe tutup pukul dua belas malam.
Keluarga Freeslack Crew dan tim Trans 7. |
Kamis-Jumat, 25-26 September 2013. Sekre MEPA UNS.
Aku masih tertahan di sini seperti sudah kuduga sebelumnya. Sejak pagi aku sudah menuju Sekretariat MEPA UNS bersama Sadham yang juga berangkat kuliah. Rencana semula adalah berpamitan. Tetapi ternyata rayuan anak-anak MEPA membuatku tertahan hingga hari berikutnya.