"Apakah kepakan sayap kupu-kupu di Brasil menyulut angin ribut di Texas?" - Teori Chaos, Philip Merilees, 1972.
Perhitungan dan kesiapan merupakan satu langkah menuju keberhasilan suatu rencana. Tetapi berbicara tentang aktifitas alam bebas, tidak dapat dipastikan suatu rencana akan berhasil seratus persen. Terkadang faktor kecil bisa membuat sebuah perubahan yang sangat signifikan.
Senin, 1 Juli 2014. Cerita ini dimulai dengan sedikit rasa ngenes karena foto yang tiba-tiba hilangd ari memory kamera Ciput. Dari total dua belas gigabyte hanya tersisa Empat gigabyte foto. Terlebih foto itu memuat semua hasil kerjaku selama di Pacitan, yang memaksaku untuk mengunjungi kembali semua tempat yang sudah aku kunjungi. Tak hanya itu, entah kenapa banyak kegagalan dalam trip kali ini. Dimulai dari shooting untuk acara My Trip My Adventure Trans 7 yang kurang berjalan lancar, hingga mata bor yang mendadak rusak saat sedang membuat rute highline.
Kesialan-kesialan itu mungkin dikarenakan sebagian dari kami (yang perlu digarisbawahi -terpaksa-) tidak berpuasa mengingat saat itu sedang bulan Ramadhan. Sisi positifnya, kami serasa liburan selama delapan hari penuh :p
Oke, aku akan menceritakan dari awal kenapa kami bisa berada di Pacitan. Trip kali ini bisa dikatakan merupakan rangkaian dari trip Ndhas Buto bersama David Wanderlust (artikelnya bisa kalian baca di sini). Bagaimana tidak, terhitung sudah hampir dua minggu aku tidak menginjakkan kaki di rumah. Setelah dari Siung saat itu, aku masih ngetrip di sekitaran Jogja dan Solo. Aku memutuskan untuk tidak pulang karena tepat di hari aku berencana untuk pulang ke rumah, satu panggilan masuk meminta kami untuk waterlining di Pacitan. Telepon itu dari salahs atu crew program tv My Trip My Adventure Trans 7.
Aku segera menunda kepulanganku dan mengkoordinasikan bersama anak-anak Freeslack Crew Solo mengingat Pacitan merupakan salah satu medan jelajah mereka. Aku menyarankan kepada mereka untuk berkoordinasi dengan salah satu kenalanku yang juga pembina FPTI Pacitan, Pak Hendro. Aku bertemu dengannya untuk pertama kali saat panjat tebing (artikelnya bahkan bisa kalian lihat di sini). Akupun meminta beliau untuk mensuvey lokasi waterlining, serta mneyiapkan beberapa persiapan yang dibutuhkan. Segmen lain juga akan menampilkan segmen panjat tebing di salah satu tebing di Pacitan. Talent-nya adalah anak binaan Pak Hendro.
Kami berlima (aku, Sadham, Pandu, Ciput, dan Cika) berangkat malam hari dari Solo. Kami menempuh perjalanan sekitar empat setengah jam dengan kondisi jalan yang lengang. Melewati kerlip lampu pedesaan Wonogiri, dan gelapnya hutan di sekitaran Waduk Gajah Mungkur. Kami tiba pukul setengah tiga pagi dan beristirahat sejenak di Alun-alun Pacitan, sembari menunggu balasan SMS dari Pak Hendro. Kami memang berencana stay di tempatnya selama kami di Pacitan.
Get in touch dengan warga lokal selalu menjadi hal menarik. Kita bisa benar-benar tahu budaya yang ada serta merasakan dengan jelas kondisi sosial suatu tempat. Dan tentu saja, itu cukup menghemat biaya perjalanan kita. Tetapi lebih dari itu, pekerjaanku saat ini memang mengharuskan untuk dapat berinteraksi dengan warga lokal, dan menyelami mereka untuk mendapat informasi yang aku butuhkan. Itulah mengapa konsep Couchsurfing.org sangat cocok denganku.
Pak Hendro adalah salah satu anggot kepolisian Polres Pacitan. Ia asli Malang, Jawa Timur. Hanya saja karir membawa ia dan keluarganya ke kota kecil ini. Di sisi lain, itu merupakan salah satu keberuntungan kota ini. Bagaimana tidak, FPTI Kota Pacitan bisa berkembang di bawah asuhannya. Bahkan sempat menelurkan satu atlet muda tingkat ASEAN.
Ia juga sosok yang hospitable, tampak dari caranya menyambut kami yang menumpang di tempatnya. Ia membuka pintu rumah kontrakan barunya untuk kami pukul lima kurang. Kami beristirahat sejenak di garasinya yang menjadi ruang boulder tempat pelatihan anggota FPTI Pacitan. Memang untuk sebuah fasilitas pelatihan, ruangan boulder itu terlihat sederhana. Terdiri dari empat panel, serta menggunakan corner tembok rumah sebagai tambahan panel. Tingginya empat panel. Sekitar tiga setengah meter.
Di kontrakan sebelumnya bahkan lebih memprihatinkan. Papan bouldernya hanya terdiri dari dua panel overhang bersusun tiga dengan campus board di salah satu sudut panelnya. Aku cukup heran bagaimana fasilitas ini dapat melahirkan atlet berbakat. Walaupun memang dua kali dalam seminggu atlet-atlet cilik yang didominasi anak seusia tiga belas tahunan digiring menuju tebing alam. Lokasinya di Lembah Kera atau Lembah Singa, sekitar lima belas menit perjalanan dari pusat kota Pacitan.
Agenda hari ini adalah mensurvey lokasi dan yang terpenting menentukan lokasi anchor yang akan kami gunakan untuk pengambilan gambar esok harinya. Kami akan menuju tempat itu sesuai dengan arah yang ditunjukkan Pak Hendro. Saat ia mengirimiku foto lokasinya, tidak terlihat spot yang menggugah selera waterlining kami. Pak Hendro mengatakan spot itu berada di muara sungai di Pantai Soge. Dalam foto yang dikirimnya, tampak muara sungai berair cokelat. Tempatnya datar, tanpa ada bukit yang mungkin bisa kami gunakan untuk highline. Atau setidaknya memasang rigging sedikit agak tinggi.
Pukul sembilan pagi kami berangkat menuju lokasi. Sekitar setengah jam perjalanan. Kami melintasi jalan berkelok di antara tebing-tebing kapur yang dipapras di kanan kirinya. Sehingga tampak dinding-dinding kapur putih yang rata menjulang. Jalannya beraspal halus dan tampak konstruksi jalan beserta bukit-bukit yang dibelah itu tampak masih baru, mungkin selesai dalam hitungan beberapa bulan silam.
Jalan itu mengarahkan kami pada sebuah ruas jalan di ujung perbukitan yang dibelah tadi. Dengan takjubnya kami melihat debur ombak samudra dari atas. Laut yang langsung menghantam tebing karang curam itu berada di sebelah kanan kami. Tak hanya di situ, kami semakin takjub mendapati sebuah jalan lurus menurun dengan garis pantai terbuka sepanjang beberapa kilometer. Itulah Pantai Soge, kami mengetahuinya dari papan penunjuk yang ada di kanan jalan. Jika lebih terawat dan urban, aku yakin pantai itu bisa menjadi seperti southern coast di California. Atau tidak mustahil pantai itu akan menjadi seperti California beberapa tahun mendatang. Itu tampak dari banyak bule yang membawa papan seluncur di sebelah kiri motor matic yang mereka sewa.
Dengan gulungan ombak yang sangat panjang, aku cukup optimis tempat ini akan menjadi seperti Pantai Padang-padang di Uluwatu Bali, atau Pantai Kuta Lombok. Dan yang jelas, kami semua sangat ingin berfoto di tempat itu. Aku menyadari bahwa pantai itu ada di profil picture whatsapp temanku yang kukenal lewat temanku saat aku mencari informasi seputar kota ini. Seperti biasanya, kami bahkan belum pernah sekalipun bertemu.
Kami masih belum menemukan spot yang dituju. Ombak di pantai ini sangat besar, dan tentunya bukan spot yang dimaksud Pak Hendro. Sekitar dua kilometer dari Pantai Soge, kami menemukan sebuah jembatan biru dengan konstruksi yang masih baru. Begitu melihat ke bagian bawah, tampak pemandangan seperti dalam foto yang Pak Hendro kirim. Bedanya, sungai ini membentuk seperti laguna. Airnya jernih kebiruan yang tampaknya merupakan air endapan kapur dari pegunungan karst Pacitan.
Langit memayungi kami dengan mendung yang menggelayut. Kali ini kami kembali dibuat takjub oleh pemandangan Pacitan. Kami sedikit kaget, dengan pemandangan di hadapan kami. Jauh di bawah sana, terdapat sebuah pulau yang berada di tengah laguna dengan pepohonan yang menumbuhinya. Pulau itu lebih mirip seperti tonjolan karang yang ditumbuhi sesemakan. Sangat berbeda dengan kesan sungai berair kotor dalam bayangan kami.
Kami memarkir motor di bawah jembatan, dan segera menuju pulau. Ini adalah liburan dan tempat ini adalah surga. Kami segera membuka baju dan berenang. Survey bisa menunggu, pikir kami. Kami tidak tahu apa yang menunggu kami di bawah sana.
Kami menceburkan diri ke dalam sungai tanpa pikir panjang dan berenang menuju pulau. Dan kejutan! Kaki kami menapaki dasar sungai dan dinding pulau yang berada di dalam air. Kami tidak melihat tekstur batu karang yang setajam silet. Aku memperingatkan yang lain, tetapi telambat. Semuanya mengeluhkan kaki-kaki mereka yang penuh luka gores. Sebagian kaki kami bahkan mengucurkan darah.
Kami dapat mendapat pelajaran dari satu kesialan hari ini. Waktu bermain telah habis, kembali ke misi awal. Kami bergegas mencari spot dan mencoba memasang lintasan. Kami menmukan celah pada karang yang bisa kami gunakan untuk tiga lintasan. Oke, tampaknya spot waterlining telah cukup dan kami telah memastikan semuanya akan berjalan lancar besok.
Kami menuju pantai yang berpasir putih halus. Awalnya hanya untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu sambil menunggu buka puasa, walaupun hanya aku dan Cika yang berpuasa di hari kedua itu. Mendadak hasrat trickline muncul. Cangkul dan parang yang kami bawa untuk membangun deadman anchor kami ambil. Padahal kami mengira cangkul dan parang itu akan lebih berguna untuk memuat deadman anchor pada lintasan waterlining. Ternyata celah karang dan pohon yang tersedia di sekitar sungai lebih memudahkan kami untuk memasang lintasan.
Empat buah deadman anchor dengan cepat selesai kami buat. Kami berharap pada pengambilan gambar besok mendapat durasi lebih sehingga mendapat sedikit waktu untuk segmen trickline. Kami semua bersemangat dan kami puas dengan hasil hari itu.
*foto-foto oleh Ciputra Ade Maharjono. Jangan bersedih atas foto-foto lainnya yang hilang. Keep RAD! \m/