Terkadang banyak hal yang tidak diduga dpat mengacaukan perhitungan kita. Yang kita butuhkan hanyalah ketenangan dan tetap berpikir jernih.
Jumat, 4 Juli 2014. Hujan mengguyur menjelang pukul tiga pagi membuat tidur kami semakin nyenyak. Aku mendengar rintiknya yang menghujam di atap. Beruntung Jambul dan Dimas yang datang menyusul dari Solo telah sampai tiga jam sebelumnya. Aku yang setengah terjaga mendengar suara Pak Hendro yang membangunkan kami untuk sahur.
Kami pun bergegas mengambil tempat dan segera menikmati menu yang telah disiapkan istri Pak Hendro, menghabiskan porsiku,dan kembali menempatkan diri di matras. Tenggelam dalam peraduan hingga pukul enam pagi. Menghubungi camper program My Trip My Adventure adalah hal yang pertama aku lakukan pagi itu. Koordinasi terakhir dan memastikan semuanya siap. Tidak lupa aku mengingatkan bagi para host -yang kali itu adalah Hamish dan Vicky Nitinegoro- untuk berhati-hati dengan karang yang ada di sekitar sungai.
Hujan masih turun, sambil aku menunggu pukul tujuh pagi. Aku membuka pintu garasi yang berderit keras dan sengaja membiarkan udara dingin masuk ke ruang boulder. Sambil aku berteriak membangunkan anak-anak lain. Beberapa kali melakukan perjalanan bersama, aku cukup paham dengan kebiasaan mereka. Terutama kebiasaan tidur mereka.
Pukul setengah delapan telewat, hujan mulai berhenti. Sebagian abru bangun kemudian kami pun berberes membawa semua kebutuhan yang mungkin kami butuhkan. Mengecek ulang peralatan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Double check.
Waktu terasa cepat. Atau mungkin kami yang bergerak lambat. Menjelang pukul sembilan pagi baru kami beranjak menuju lokasi pengambilan gambar. Spot waterlining di muara -yang lebih mirip seperti laguna- Pantai Soge. Ternyata crew My Trip My Adventure (MTMA) sudah berada di lokasi. Kami berpapasan saat mereaka tengah mengambil gambar di atas jembatan.
Hujan yang mengguyur tampaknya membuat semuanya basah. Setapak tanah yang kami lalui berubah menjadi medan berlumpur yang kotor dan licin. Tak jarang kami terpeleset oleh jalan yang menanjak, menurun, dan melipir sisi tebing. Air di mana-mana, termasuk pada dedaunan dan semak di sepanjang setapak yang kami lalui. Baju kami telah basah sebelum menceburkan diri ke sungai. Tentu saja ini bakal menjadi kendala bagi crew MTMA, terutama kameramen.
Hanya sehari berlalu, hujan merubah air sungai yang biru jernih menjadi hijau tua kecoklatan. Sesekali rintik gerimis dan embun turun dari langit seperti sedimen karst yang mengendap di dasar sungai. Jambul dan Dimas pastilah kecewa karena ekspektasinya. Malam setelah mereka sampai di Pacitan, mereka kami bumbui dengan cerita keindahan lokasi mendekati surga. Walaupun tak jauh berbeda, tetapi jelas hujan meruntuhkan antusias mereka. Karena kami pun demikian.
Ditambah dua personel baru, tanpa banyak koordinasi kami langsung memasang tali pada anchor yang telah kami cari kemarin. Tiga lintasan terpasang, dan tiba-tiba satu anchor yang berada pada karang hancur. Tidak memungkinkan pemasangan lintasan. Tersisa anchor dua lintasan. Kami semakin terlambat dari jadwal yang diperkirakan.
Crew MTMA muncul dari balik semak. Sebagian mereka berpakaian kotor belepotan lumpur. Melihat tali yang belum terpasang maksimal, mereka tampak gelisah. Aku cukup paham setiap detik yang terlewat sangat berharga bagi mereka. Setelah segmen waterlining, mereka masih mengambil gambar untuk segmen panjat tebing. Walaupun aku tidak yakin segmen panjat tebing bakal terlaksana karena hujan pasti membasahi dinding-dinding tebing.
Batang pohon yang kami gunakan sebagai tambahan anchor pada karang terangkat. Ternyata batag pohonnya telah mati, dan akar yang tertinggal tidak mampu menahan beban tarikan dari pulley system yang kami gunakan untuk tali Blue Wing. Crew MTMA tampak semakin gelisah.
Ekspektasiku untuk memasang tiga lintasan telah aku coret dalam bayanganku. Setidaknya satu lintasan telah terpasang, dan aku mencari akal untuk memasang satu tali lagi. Just in case, kami masih bisa menggunakan satu lintasan untuk pengambilan gambar. Toh lintasan kedua adalah lintasan dengan tali dua setengah inci, dengan tinggi enam meter, dan tanpa pengaman. Bahkan aku tidak yakin semua orang bakal mencoba lintasan itu.
Aku tetap tenang dan memang di saat seperti ini jelas pikiran jernih yang dibutuhkan. Aku melihat satu tonggak pohon yang tampak kokoh dan mungkin bisa digunakan untuk anchor. Kami mencoba satu peruntungan terakhir. Aku mencoba tidak berekspektasi terhadap keberhasilan lintasan ini. Yang bisa aku lakukan hanya memasang anchor pada tonggak dan memasang back up. Hanya upaya antisipasi, jangan sampai tonggak kayu kecil itu meluncur seperti proyektil jika diberi beban tarikan pulley ditambah berat badan slacker yang melintasinya. Semua mungkin saja terjadi, upaya antisipasi adalah solusi terbaik.
Berhasil. Semua lintasan selesai tepat saat Hamish dan Vicky sampai di lokasi. Tanpa diberi pengarahan mereka langsung mengambil gambar, tanpa membuang waktu sedikit pun. Kami secara bergantian mencoba lintasan. Tidak ada yang berhasil melintasi tali Freak Lines yang dipasang sekitar lima puluh sentimeter dari permukaan air. Dan lintasan Blue Wing setinggi enam meteran, hanya aku yang mencobanya.
Dan benar saja. Mereka tampak kesulitan melintasi tali itu. Tentu saja, menurut pengalamanku, waterlining memiliki kesulitan tertentu dan membutuhkan keseimbangan lebih dibanding slackline normal. Air menambah berat tali yang membuatnya semakin tidak stabil.
Waktu terasa cepat dan tampaknya semua stock video yang mereka butuhkan sudah terambil. Mulai dari penggunaan drone/quadcopter untuk aerial video, pengambilan gambar menggunakan action cam Gopro, dan wawancara dari host. Agenda hari itu kami sudahi seiring hujan yang kembali turun. Crew MTMA meninggalkan lokasi dan kami yang masih belum puas bermain air.
Menjelang sore kami kembali ke rumah Pak Hendro dan mendengar kabar segmen panjat tebing gagal terlaksana. Tepat seperti perkiraanku. Tak hanya itu, kabar lainnya, salah satu host justru sakit. Melengkapi kegagalan hari itu. Kegagalan kami, terutama aku, tidak berhenti di situ. Extend beberapa hari di Pacitan untuk mengerjakan suatu pekerjaan terbuang percuma karena delapan puluh persen foto kami terhapus entah kenapa.
Terlepas dari kegagalan tersebut, kami menambah dua lintasan : waterline dan water-midline. Kami menamakannya rute "Mawar Berduri" untuk lintasan setinggi lima puluh sentimeter, dan rute "Kasih Tak Sampai" untuk water-midline setinggi sekitar enam meter. Keduanya memiliki panjang lintasan sekitar Lima belas meteran lebih. anchor yang kami gunakan adalah pohon dan batu karang.
Sedangkan nama itu kami pilih untuk memberi kesan old school. Nama itu terlintas setelah merasakan duri tajam dari karang dibalik keindahan spot laguna Pantai Soge. Kasih Tak Sampai terlintas karena banyak dari kami yang tidak sampai pada ujung lintasan.