Highline Lokawisata Baturraden

Posted by on Wednesday, January 29, 2014


Banyak hal yang membuat pariwisata Indonesia tidak maju, terutama karena pemerintah sebagai pengelolanya kurang peka dengan tren yang sedang berkembang. Hal itu terjadi secara merata hampir di setiap tempat di Indonesia, tidak terkecuali di Kabupaten Banyumas, tempat di mana aku tinggal. Di kota yang tengah menyiapkan pariwisata sebagai tumpuan utama, inovasi dan promosi menjadi hal yang tidak dapat diabaikan lagi.

Di sisi lain, slackline sebagai olahraga baru yang terbilang berkembang dengan pesat apakah mampu memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Setidaknya adakah hal yang bisa diberikan kepada lingkungan di sekitar kita selain sebagai bentuk olahraga, hobi, atau hiburan?




2013 telah berlalu menyisakan peristiwa yang layak dikenang setahun ke belakang. Jujur bisa dikatakan, tahun lalu adalah tahun di mana aku berada dalam titik terendah dalam hidupku di mana banyak tekanan yang membuatku depresi. Depresi dalam arti sebenarnya, hingga sempat memasang status "God, I wanna die. Thanks." Dalam facebookku. Pernah aku merasa bahwa keputusanku untuk keluar dari rutinitas dan zona nyaman bukanlah keputusan yang tepat. Tahun 2013 juga menjadi tahun di mana aku sangat bermasalah dengan kesehatan dan kehidupan pribadiku.

Kadang aku merasa bersyukur, banyak mimpiku yang belum terwujud membuatku tetap bertahan. Passionku terhadap slackline, panjat tebing, dan aktifitas alam bebas bisa jadi sebuah bentuk pertanggungjawabanku atas apa yang telah aku mulai saat memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tetapku. Dan memang, pada akhirnya, setelah semua berlalu kita sadar bahwa semuanya baik-baik saja.

Perkembangan slackline di Indonesia pun berkembang cukup pesat tahun 2013. Lebih pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tampak dari banyaknya pemberitaan tentang slackline di berbagai media. Televisi, media cetak, maupun online. Beberapa komunitas baru pun berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Beberapa nama pegiat slackline baru bermunculan dengan penguasaan trik dan rekor yang mereka buat. Tak ketinggalan beberapa event berskala nasional telah meroketkan olahraga slackline. Sebut saja Festival Petualang Nusantara dan kompetisi slackline pertama yang digelar Pushing Panda Bandung telah menutup dan menorehkan sejarah slackline di tahun 2013 .

Slackline dan Wisata

Rabu, 8 Januari 2014.
Nomor telepon asing membuat handphone berdering dan seseorang yang mengaku dari Dinas  Pemuda, olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas memperkenalkan diri. Lebih lanjut dia mengatakan agar aku bermain slackline di Lokawisata Baturraden. Tujuannya adalah untuk promosi. Cukup kaget bagiku karena memang aku pribadi cukup under estimate terhadap institusi dan birokasi pemerintahan. Apa pun itu.


Tak habis pikir dari mana mereka mengenal slackline, tapi aku tak menyia-nyiakan tawaran itu. Yang terpenting adalah akses untuk bermain slackline di area-area yang dikelola pemerintah. Hal ini mengingatkanku saat aku pernah diusir karena berlatih trickline di Dojo Tae Kwon Do GOR Satria Purwokerto. Sekali itu cukup membuatku enggan berurusan dengan pemerintahan.

Di sisi lain, ini menjadi wacana baru bagiku. Apakah slackline telah cukup dikenal, bahkan hingga generasi tua para pejabat pemerintah. Atau bisa jadi pemerintah mulai peka terhadap tren yang berkembang di kalangan anak muda. Telepas dari hal itu, adalah gagasan menarik jika slackline bisa bersinergi dengan perkembangan pariwisata lokal.
Bombing!

Hari itu juga aku menyiapkan beberapa personel untuk survey dan menyiapkan peralatan. Beruntung ada stok bolt type M10 dan hanger yang belum tepakai. Rencananya, bolt itu akan aku gunakan untuk bombing di salah satu tebing di Tegal. Tapi salahnya sedikit berpartisipasi di kota sendiri.

I know.
Hari berikutnya, aku, Yusak Yulius, Supri, dan Edi Ferianto memulai bombing sejak pagi. Kami memilih spot di Baturraden Cascade, area dengan air mancur dan tebing setinggi kurang lebih dua belas meter. Air mancur itu membelah tebing selebar lebih dari tiga puluh lima meter.
Sisi tebing sebelah barat. 

Kami memasang 2 hanger utama, dan 2 hanger untuk back up di masing-masing sisi. Pada pemasangan bolt ketujuh, bor listrik yang kami gunakan ngadat. Alasan itu memaksa kami untuk menunda pekerjaan kami. Salah satu petugas lokawisata mengatakan bahwa kendala kami disebabkan karena kami tidak "berdoa" terlebih dahulu. Pernah ada orang meninggal di tempat itu, katanya. Dan itu cukup membuatku tersenyum tanpa berkata apa pun.

Drill troop.
Sabtu, 11 Januari 2014.
Perlu waktu dua hari untuk memperbaiki bor yang kami pakai. Nyatanya bor itu berfungsi kembali setelah komponen kapasitornya diganti, dan tidak membuktikan apa pun tentang mitos petugas lokawisata. Tapi walau bagaimanapun, kearifan lokal tetap harus kita hormati. Hanya dengan itulah keaslian suatu tempat dapat terjaga.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk memasang hanger ketujuh dan delapan. Kami menambah satu hanger untuk anchor cadangan.

Kami bergegas memasang rigging, gerimis yang turun cukup menyulitkan kami hingga banyak waktu terbuang. Baru menjelang sore rigging kami terpasang dan gerimis tak kunjung mereda. Kami memutuskan meninggalkan rigging dalam keadaan terpasang dan melanjutkan slacklining esoknya.



Minggu, 12 Januari 2014.
Kami melanjutkan tantangan adrenalin untuk menguji knsentrasi kami. Kali ini Jalom Noor ikut bersama kami. Dari semua personel, hanya aku dan Yusak yang pernah melakukan highlining. Ini adalah kali pertama bagi mereka. Aku menyarankan mereka untuk merasakan "sensasi jatuh" terlebih dahulu. Itu memang hal yang dulu aku lakukan untuk membangun mentalku dan meyakinkan diri bahwa rigging memang benar-benar aman.
Jalom on the line.
Yusak sangat bersemangat kali ini. Berkali ia mencoba walau kerap jatuh. Ia bahkan mencoba hangbat dan hand lever. Di sela-sela dia mengatakan bahwa bisa jadi itu adalah kali terakhir ia bermain highline karena bulan Februari ia harus pindah ke Bandung dan meneruskan babak baru dalam hidupnya. Pekerjaan tetap dan rutinitas, serta meninggalkan atributnya sebagai atlet panjat tebing tingkat nasional. Aku tahu rasanya karena aku pun akan kehilangan satu partner bertualangku.
Yusak on the line.

Yeeeaaahhh!!!
Kami tetap menikmati permainan ini walau pengunjung yang berakhir pekan memadati sekitar cascade dan menonton kami. Bagiku itu cukup menguji mental sekaligus membuyarkan konsentrasi saat meniti tali. Tak memiliki mental atlet, pikirku.
Supri on the line.

Supri dan Jalom merupakan salah satu partnerku berlatih longline beberapa bulan terakhir. Tapi highlining menjadi pengalaman baru bagi mereka. Maklumlah jika Supri tetap mengurungkan niatnya untuk mencoba meniti webbing, walau hanya berdiri. Sedangkan Jalom cukup bersembangat mencoba pengalaman barunya.
Hand Lever anywhere. Favorite Pose.

Leash.

Walaupun bagiku longline 35 meter atau 50 meter sekalipun telah tembus, namun di ketinggian sekitar 12 meter cukup menguji mentalku. Hingga pukul tiga sore, aku mencoba empat - lima kali, namun fokusku belum sekuat saat berlatih longline.

Jatuh, bangun, dan berjalan.
Kami menyudahinya setelah gerimis kembali turun. Kembali sebuah soal tersisa untuk dipatahkan. Lebih jauh, sebuah pekerjaan rumah yang lebih besar menanti untuk dijawab. Apakah slackline mampu bersinergi dengan pariwisata, atau bahkan aspek lain di lingkungan kita.
Menyisakan pekerjaan rumah.

Leave a Reply