Ekspedisi Kali Pelus Part 2

Posted by on Tuesday, March 25, 2014


Catatan kali ini melanjutkan catatan sebelumnya, kalau kalian belum membacanya, silahkan buka di sini.




Minggu, 19 Januari 2014.
Penelusuran hari ini kami mulai dari lokasi Baturraden Adventure Forest (BAF). Tepat di bawah jembatan bambu pintu masuk BAF yang merupakan pertemuan antara Sungai Pelus Kulon (barat) yang berada di kawasan BAF dan Pelus Wetan (timur) yang berada di kawasan Lokawisata Telaga Sunyi Baturraden.
Persiapan alat 
Penelusuran dimulai dengan water sliding di kolam berair jernih bersuhu sekitar empat belas derajat celcius. Maklum, jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Kolam sedalam dua meteran itu cukup menggiurkan untuk diterjuni, aku menjajal frontflip (salto ke depan) dan sukses. Air dingin yang seketika membasahi seluruh badan hingga ujung rambutku, membuat darah serasa meluap ke otakku. Memaksa tubuh untuk menggigil dan menyisakan sedikit pening dan pedih di pangkal hidung. Walaupun telah pemanasan sesaat sebelum mulai turun ke sungai, namun tidak memberi waktu bagi tubuh untuk beradaptasi dengan dinginnya air adalah ide buruk.
Kolam pertama di entry point yang berada di wilayah BAF.  
Rasa itu perlahan hilang berlanjut dengan semangat untuk menelusuri sungai yang penampangnya kian melebar. Kali ini kami disuguhi sungai dengan medan terbuka dan penuh bongkahan andesit. Dibandingkan sungai yang kami arungi hari sebelumnya, sungai ini relatif lebih lebar. Aliran sungai mengalir di antara bebatuan dan tebing andesit dengan ketinggian bervariasi dari dua hingga tujuh meter. Sungai kali ini pun dipenuhi dengan jeram dan riam untuk sliding, serta kolam-kolam sedalam lutut hingga empat meteran.
Water sliding di bawah jembatan Telaga Sunyi. 
Tepat di bawah jembatan pemisah lahan BAF dan Telaga Sunyi, kembali sebuah kolam menunggu kami. Saat yang lain menikmati water sliding, aku naik ke atas tebing setinggi tiga meteran. Air yang di tertutup bayang-bayang pohon membuatnya tampak hitam dan dalam. Tanpa ragu aku melompat. Maka satu pelajaran berharga pun kudapat. Jangan melakukan hal ekstrim tanpa orientasi medan!

Ternyata kedalaman air hanya selutut, alga di dasar bebatuan menyamarkan kedalamannya. Beruntung aku tidak frontflip, pikirku. Saat ini pantatku terasa sangat pegal dan kian terasa saat jalan.

Sungai yang cukup dalam membuat kami harus berenang sekitar seratur meteran. Sebagian dari kami yang tak dapat berenang saling tarik membentuk barisan yang terapung karena pelampung. Kemudian dinding batu yang menyempit memaksa kami mendaki naik ke atas batu setinggi tujuh meter. Jika tak mau bersusah payah scrambling, nyali kalian ditantang untuk cliff jumping. Tanpa pikir panjang aku frotflip dari ketinggian itu. Entah kenapa aku sangat suka terjun bebas dan frontflip, terkontaminasi video-video canyoning ekstrem mungkin.
Scrambling atau lompat 7 meter.

Titik scrambling lain di sekitar exit point.
Khusus untuk hal ini aku tak menyarankan kalian untuk mencobanya, kecuali yakin. Resiko kulit perih, memar, hingga keseleo, atau bahkan bisa jadi patah tulang mungkin saja terjadi jika kalian melakukannya dengan salah. Badan kalian yang dengan cepat menghempas permukaan air akan terasa menyakitkan, terutama saat kalian mendarat pada posisi telentang atau tegkurap. Pernah sekali aku mendarat dengan muka terlebih dulu. Rasanya lebih perih dibanding ditampar perempuan yang baru sekali kurasakan seumur hidup. :p
Frontflip!!!
Lebih jauh, penelusuran kami mulai memasuki wilayah ladang dan sawah penduduk. Bebatuan unik di tepi sungai membentuk dinding unik yang berujung pada telaga sedalam tujuh meter. Penduduk setempat menyebutnya Kedung Nila. Memang di saat jernih seperti ini ikan-ikan tampak banyak dari atas telaga. Visibilitas telaga dengan diameter tiga puluh meteran itu sangat tinggi, terlebih dengan terpaan sinar matahari. Lumut hijau tampak bergoyang di dasar telaga.

Nasi siang yang dibawa tim support BAF menjadi pengisi perut kami ditambah kopi hitam panas yang terasa pas walau di bawah panas terik matahari. Satu jam cukup bagi kami untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi sebelumnya, cliff jumping time! Aku dan beberapa rekan lain memaksa semua peserta untuk terjun bebas dari tepi telaga setinggi empat-lima meteran. Tak terkecuali Pak Djatmiko, Kepala seksi Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Dinporabudpar) yang menusul kami di tempat itu.
Cliff jumping time di Kedung Nila.
Perjalanan kembali kami teruskan melewati dasar Sungai Pelus di antara ladang-ladang penduduk. Kami pun mulai mendapati bentukan-bentukan konstruksi manusia seperti dam, jembatan, dan saluran irigasi. Aliran sungai ini mengarahkan pada Curug Lawang, pemberhentian akhir perjalanan kami.
Rapeling pendek, sekitar 9 meter.

Rapeling pendek, sekitar 9 meter.
Curug Lawang masih berada di Desa Karangsalam Kecamatan Baturraden. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 23 meter. Ada dua lubang di antara ujung tebing yang menyatu di bagian atas. Ini membuat bentuk Curug Lawang cukup unik. Di tempat ini, kita bisa memilih untuk menuruni dua tebing air terjun itu. Dengan teknik rapeling atau abseiling. Dengan hanger sebagai anchor yang telah dipasang Tedi Ixdiana, membuat Curug Lawang aman untuk dilalui.
Rapeling Curug Lawang. 23 meter.
Curug Lawang menjadi penutup dari perjalanan kami. Sebuah ekspedisi yang memberiku banyak pelajaran, dan perspektif baru. Tentang petualangan, kebersamaan, dan sebuah wacana mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Selfie time. Akunya mana...
*Terima kasih untuk Fikri Adin untuk sebagian foto yang ada di blog ini.

Leave a Reply