HIGHLINE ONLY FOR THE WAKE PART 2

Posted by on Wednesday, May 7, 2014


"There’s one thing you gotta know. Fear and panic are two separate emotions. Fear is healthy. Panic is deadly. Out here, it’s all about fear" - Chasing Maverick

Setiap orang memiliki rasa takut, dan itu adalah sifat dasar manusia. Rasa takut itu memang harus ada sebagai salah satu naluri untuk mempertahankan diri. Tanpa rasa takut, bisa jadi manusia akan mati karena tidak bisa memperhitungkan batas kemampuan dirinya. Yang berbahaya adalah panik, dan panik bisa membunuhmu. 

Highline bukan tentang seberapa besar nyali kalian untuk melintasi seutas tali di ketinggian. Ini tentang bagaimana kalian mengontrol persepsi. Untuk tetap fokus, mengalihkan rasa takut, dan menggantinya dengan keinginan untuk mencapai tujuan.




Tulisan ini merupkana lanjutan dari tulisan sebelumnya, atau bisa kalian baca baca di sini.

Minggu, 13 April 2014. Enam hari yang lalu aku telah menyelesaikan satu rute highline yang aku beri nama Only for the WAkE. Rute itu memiliki panjang sekitar dua puluh lima meter dengan ketinggian dua belas meter lebih. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran highline, tetapi aku yakin tidak semua orang punya cukup nyali untuk melintasinya. Rute ini berlatar lebatnya pepohonan, dengan jurang dan sungai di bawahnya. Di seberangnya terdapat air terjun dari ada aliran Curug Gumawang yang bergemuruh.

Bolting!

Rute ini berada di lokawisata Baturraden dan selalu ramai setiap harinya karena berada dalam jalan utama wisata. Lebatnya pepohonan membuat sungai di bawahnya tertutup bayang-bayang pohon, hanya menyisakan gemuruh air terjun. 

Sepintas tempat ini kelihatan eksotis, sekaligus menyeramkan. Kesan menyeramkan menurut warga sekitar terutama karena beberapa kali ditemkan mayat korban hanyut bagian bawah air terjun. Angker? Entahlah. Karena aku belum pernah mengalaminya. 

Tapi percaya atau tidak, ini merupakan salah satu penyebab aku baru mendapat ijin membuka jalur canyoning dan highline setelah lebih dari sebulan sebelumnya aku membuat rute highline di tempat yang berdekatan. Baca kisahnya di sini

Pihak pengelola menyarankan agar tempat itu didoakan sebelum "dijamah". Jujur aku ragu jika tempat itu sudah didoakan sebelum aku diberi ijin membuka rute ini. Tetapi bagaimanapun juga, orang lokal lebih tahu dari kita. Itu adalah prinsip yang ada di buku panduan kepecintaalaman saat aku SMA. Dan masih aku pegang hingga saat ini dan aku masih sepakat dengannya. 

Terlepas dari hal itu, ada sebuah distraksi berupa suara gemuruh air terjun yang (mungkin) membuat ketakutan kita semakin terasa. Normalnya, jarak dua puluh meter dan ketinggian sekitar dua belas meter tidak terlalu menakutkan bagi para highliner. Dan dengan tingkat kesulitan yang tak terlalu berarti, rute itu bisa jadi hanya untuk si lemah. Tetapi untuk sedikit menghormati sensasi ketakutan yang ditawarkan rute itu, aku menamainya Only for the WAkE. Sedikit parodi dari frasa only for the weak.

Cukup sudah enam hari tanpa tidur nyenyak karena terbayang rute yang sudah aku buat. Rasa tidak sabar untuk mencoba menaklukkan Only for the WAkE, tapi kerjaan yang cukup padat memaksaku menunda pertempuran itu. Pertempuran mengalahkan rasa takut. 

Dalam pesannya tadi malam, temanku Yusak Yulius yang sedang dalam perjalanan Bandung - Purwokerto menanyaiku tentang rencana "ke alam liar". Mungkin ia tengah jenuh dengan rutinitas kerjanya dan merindukan petualangan-petualangan yang telah dilalui sebelum menggantung sepatu panjatnya dan memutuskan untuk fokus di pekerjaan barunya. Suatu kebetulan akhirnya bisa kembali bermain tali dengannya.

Yusak membantu memasang rigging dan tali back up.

Bersama temanku Kucing Lordey - nama panggilannya, kami bertiga beranjak ke Lokawisata Baturraden. Hampir tiga jam sebelum rigging benar-benar terpasang dengan settled. Beberapa perubahan setup sebelum akhirnya menemukan setup terbaik. 

Rasanya selalu sama saat duduk di atas tali dengan leash terpasang di antara harness dan webbing. Aku selalu teringat masa-masa sekolah dasar. Saat dengan sadar tidak menyelesaikan pekerjaan rumah, dan dengan sadar juga akan merasakan hukuman di depan kelas. Gugup dan takut yang disertai gemetar, keringat dingin dan sedikit rasa mual. 

Seperti itulah yang mungkin bisa melukiskan sedikit kegelisahan sebelum menikmati sensasi highlining. Tetapi sensasi untuk menaklukkan ketakutan kita, dan tawaran akan pencapaian saat berada di ujung tali selalu menggiurkan. Dan tentu saja tak ada yang dapat menolong saat kita telah berada di tengah lintasan. Tak ada yang dapat kita percayai kecuali diri sendiri, dan tentunya peralatan yang telah kita pasang. Hanya ada dua pilihan, mencoba dan berhasil atau tidak sama sekali.

Jatuh dan bangun. Itulah kita, manusia.

Rupanya hari itu aku menjadi pemain tunggal. Yusak tampaknya cukup lelah dan tidak siap karena pekerjaan yang sangat menita tenaga. Ia hanya menikmati suasana alam Baturraden. Jatuh bangun beberapa kali, aku tetap tidak berhasil melewati tali.

Supri dan Jalom yang menyusul datang disela-sela istirahat. Keduanya mencoba dan selalu gagal pada langkah kedua-ketiga. Rute yang tidak seekstrim rute sebelumnya, entah mengapa terasa sangat menyulitkan. Faktor mental sebagaimana dugaan kami nampaknya sesuai dengan filosofi nama rute itu. Kami memutuskan untuk meneruskannya esok hari dan meninggalkan rigging dalam keadaan terpasang.

Supri mencoba dan gagal pada langkah pertama.
Senin, 14 April 2014. Hari ini aku merasa sedikit lebih siap. Bukan karena lebih berani, tetapi karena lebih bersabar. Hal itu terbukti saat dengan mudahnya aku meniti di atas tali. Hanya sekali mencoba dan dua kali jatuh, aku sampai di ujung webbing dua setengah sentimeter itu.

Jalom mencoba dan tetap gagal.
Sedangkan Jalom masih belum bisa menemukan keseimbangannya. Berkali-kali ia mencoba tetap tidak berhasil. Hari itu juga menjadi pengalaman tersendiri bagi Fendi, yang hari itu datang bersama temanku yang lain Uciel dan Tepi. Untuk pertama kalinya ia mencoba slackline, dan langsung berhadapan dengan highlining. Sedikit nekat memang.

Pendaratan yang... Sempurna!
Aku lebih mengkhawatirkan jika ia tidak jatuh dengan posisi yang benar dan langsung mendarat pada tanaman pakis berduri tepat di bawah tali. Dan... Benar saja. Beberapa kali jatuh, sampai akhirnya ia mendarat pada batang pakis yang menghadiahinya dengan luka bilur di sekitar lengan dan bahu. Tapi tentu saja, No Pain No Gain. Kami semua mendapat pengalaman baru hari itu.
Hadiah untuk sebuah keberanian.

Leave a Reply