Pushing Panda Slackline Gathering and Sharing

Posted by on Wednesday, May 7, 2014



Sebagai olahraga baru, slackline berkembang cukup pesat. Tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri. Banyak dinamika terjadi. Banyak wajah baru di antara slacker Indonesia, dan tidak sedikit juga slacker lama yang tidak lagi nampak. Dan memang, ini seperti sebuah bentuk seleksi alam mengalahkan kejenuhan. Yang konsisten, yang akan tetap bertahan.



Video courtesy by Pushing Panda/Dadenk Denk

Sabtu, 19 April 2014. Sudah setahun lebih sejak terakhir kalinya aku mengunjungi Saparua, Bandung. Sama seperti saat ini, aku mengunjungi Saparua untuk bertemu sesama slacker dan belajar dari mereka. Tak ada yang berubah dari tempat itu. Hanyalah suasana yang terasa berbeda. Kali sebelumnya, slacker yang ada di sana dapat dihitung dengan jari dan berasal dari dua komunitas saja. Sangat kontras dengan kondisi saat ini yang jumlahnya berkali lipat. Aku bahkan hampir tidak dapat membedakan dari komunitas mana mereka berasal.


Dari Bandung sendiri tidak lagi hanya Pushing Panda dan Bandung Slacklines, tetapi juga ada komunitas baru seperti Aeroline Cimahi, Southern Slackline Soreang, Ciparay Slack, Gang Ripahline, dan Rancaekek ISSlackline. Datang juga Arka yang mewakili Namek Slackline Jogjakarta (walaupun sekarang ia berdomisili di Jakarta), serta Sadham dan Dimas dari Freeslack Crew Surakarta.  

Kalau aku amati, tren kenaikan di Indonesia meningkat secara pesat sejak pertengahan tahun lalu. Media cetak, televisi, dan media online yang gencar memberitakan slackline sangat berpengaruh terhadap perkembangan olahraga ini. Hal itu tidak mengherankan mengingat tren slackline di luar negeri pun muncul secara bergelombang setelah event world cup slackline pertama di tahun 2008. Slackline Magazine pernah mengulas analisis mengenai gejala ini dan aku translate pada artikel ini.


Di Indonesia sendiri, perkembangan ini bahkan tidak hanya tampak dari komunitas-komunitas yang secara "kasat mata" aktif di gathering dan media sosial. Tetapi juga komunitas-komunitas yang "bergerilya di bawah". Sebut saja 3V Slackline Bali yang mulai aktif di Facebook, Crex Borneo, dan FPTI Jawa Timur melalui Ronald Mamarimbing yang menularkan slackline lewat kantung-kantung pegiat panjat tebing. 

Di samping itu ada beberapa komunitas yang kian tak terdengar kabarnya. Sebut saja slackline Bogor, slackline Cilacap, Martin Holland yang membawa slackline ke Kalimantan Timur, atau Rodrigo Mariano di Bali.

Pemain baru tentu saja membawa dinamika baru, tenaga, karakter, dan style baru. Hal ini tampak secara nyata dalam trick-trick yang ditunjukkan oleh slacker-slacker yang bahkan belum genap menggeluti slackline setahun terakhir. Tetapi mereka telah menghajar melalui trick-trick combo yang - walaupun masih dasar dan sederhana - namun telah tampak rapi. 

Jika tahun sebelumnya kami hanya terbatas pada trick-trick statis, namun tenaga-tenaga baru ini sudah mulai bereksperimen dengan teknik-teknik sulit seperti spiral, 360, frontflip, atau yang lain. Cukup radikal.


Aku? Jujur belum banyak trick baru yang aku kuasai. Sedikit banyak aku mulai tergeser oleh mereka. Maklum saja, aku lebih sibuk seputar teknis highline dan longline. Tidak bisa dibandingkan memang, mengingat konsentrasi kami berbeda. Sayangnya pada kesempatan itu aku tidak menemukan sosok yang memiliki ketertarikan sama terhadap highline.

Secara keseluruhan, aku pribadi sangat mengapresiasi acara itu. Dengan jumlah peserta yang hadir mencapai tiga puluhan orang, acara ini bisa menjadi tolak ukur kondisi salckline di Indonesia. Gathering dengan suasana fun itu diisi dengan fun competition dan fun battle trickline. 



Hujan yang mengguyur sekitar pukul dua siang memaksa kami mengakhiri acara. Tapi itu tidak menghentikan kami untuk berbincang-bincang sambil berteduh di bawah guyuran hujan. Pukul delapan malam aku, Sadham, Arka, dan Dimas baru bisa beranjak menuju markas Indonesia Climbing Expedition di Jalan Antapani Bandung. Cukup melelahkan, tetapi gathering semacam ini sangat layak dinantikan.

*terima kasih untuk Dimas atas foto-fotonya. Aku tidak berkonsentrasi memotret karena terlalu menikmati event.

Leave a Reply