Sebuah Fragmen Dalam Hidup

Posted by on Friday, August 29, 2014


Katanya, tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Tak bisa aku pungkiri, hal itu tampak benar adanya.




Hari ini adalah hari Rabu, 16 Juli 2014. Akhirnya aku memiliki waktu untuk sedikit menuangkan pengalamanku selama dua-tiga bulan terakhir. Trip untuk slackline dalam waktu yang cukup padat, ditambah kesibukan harian adalah hal yang menyita waktuku akhir-akhir ini. Tetapi itu merupakan dua hal yang harus dipenuhi agar dapat saling mendukung.

Dalam beberapa bulan ini, waktu berjalan dalam ritme yang sangat cepat. Hampir tak ada sekat yang jelas antara jarak dan waktu, serta tekanan dan kesenangan dalam psikologisku. Terkadang aku terbangun dan menyadari berada di tempat yang sama sekali berbeda, berjarak ratusan kilometer dari hari kemarin.

Awalnya, jetlag membuat pola makan, tidur, dan istirahat menjadi kacau. Perlahan tubuhku mulai menyesuaikan dengan keadaan, dan yang terpenting adaah otakku masih bisa berpikir jernih. Perubahan tidak hanya terjadi pada kondisi fisikku, perubahan secara cepat dan drastis dari segi budaya, sosial, dan juga psikologis memaksaku berpikir cepat.

Setiap langkah dalam perjalananku membawa perspetif baru bagiku dalam menghadapi dan menyikapi hidup. Saat ini aku merasa  memiliki kebebasan penuh atas diriku dan berada pada "zona ketidaknyamanan". Aku tidak menyebutnya sebagai suatu keadan yang sama sekali tidak nyaman, karena pada dasarnya aku nyaman dengan kondisiku saat ini.

Pada dasarnya manusia tidak menyukai perubahan. Bahkan terkadang perubahan adalah hal menakutkan, bagi mereka yang tidak siap. Yang bertahan adalah mereka yang dapat menyesuaikan diri sebagaimana istilah survival to the fittest dalam teori evolusi Darwin. Sebagian orang mendambakan keajekan terutama dalam lingkungan mereka. Sebagian di antaranya bahkan enggan beranjak dari lingkaran sosial mereka. Serta takut untuk menghadapi situasi, budaya, maupun orang-orang baru. Seringkali, keajekan memang membuat kita merasa nyaman dan justru membatasi langkah dan daya kreasi kita.

Aku melihatnya sejak saat duduk di bangku kuliah, dan hingga saat ini aku masih melihat orang-orang seumuranku masih terlalu nyaman dengan keajekan mereka. Di sisi lain aku memang tidak memiliki lingkaran sosial yang tetap karena terlalu sering melompat dari satu lingkaran menuju lingkaran lain. Karena memang pada dasarnya sampai saat ini aku masih menolak untuk menetap dalam suatu lingkaran.

Aku sadar betul bahwa hal ini akan berubah saat aku harus stay pada suatu titik, tetapi toh kita sebagai manusia diciptakan sebagai entitas yang harus selalu menekan batas, hingga batas itu mendorong kita kembali. Setidaknya itu adalah penafsiranku terhadap zona ketidaknyamanan. Sedangkan apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini adalah sebuah perubahan nyata yang berkelanjutan. Tak ada tekanan atas rutinitas yang terasa membosankan. Yang ada hanyalah perubahan.

Mari kita batasi topik ini dan akan kumulai ceritanya. Pengalamanku yang aku tulis dalam beberapa artikel berikutnya bukan menjadi sebuah alasan atas perspektifku. Hanya sebagai awal dari sebuah perspektif saja.

Akhirnya, perjalanan bukanlah tentang seberapa jauh kita pergi. Tetapi tentang bagaimana kita memaknainya. Tanpa hal baru yang kita dapat, perjalanan kita tak sebagai sebuah keajekan semata. Setidaknya, nikmati setiap hal terkecil dalam perjalanan kita.

*Foto-foto di atas adalah koleksiku sejak SMA, dua foto sudah menggunakan kamera digital, sementara yang lain masih menggunakan kamera film.

Leave a Reply