Dalam hidup kita, ada beribu kemungkinan yang pada dasarnya terkoneksi satu sama lain. Dengan seseorang, dengan sesuatu, atau dengan suatu tempat. Seringkali kita tidak menyadarinya. Bukan karena kita tidak tahu, tetapi karena belum waktunya. Ya, kita baru menyadarinya setelah semuanya terjadi. Di saat itulah, kita mulai merangkai sebuah keterkaitan. Menduga-duga dan karena keterbatasan kita, kita seringkali hanya berasumsi. Lalu untuk menyederhanakannya, semuanya berujung pada istilah "takdir" atau "nasib".
17 Mei 2016. Hari ini tak ada kerjaan di mejaku. Tak seperti hari biasanya yang dipenuhi dengan kertas laporan, sedari pagi tadi aku hanya menunggui monitor yang menayangkang video-video pendek youtube. Masih ada beberapa cerita yang belum sempat aku tulis, dan mulailah aku mengganti tab-tab browser dengan folder-folder dokumentasiku.
Cukup lama aku terpaku pada folder dokumentasi di Kota Kendari. Mencoba untuk larut dalam ingatan dan kesan tentang sebuah kota kecil di Timur Indonesia itu.
Pada pertengahan 2015, kantorku mengirimku ke kota pelabuhan tersebut. Selama dua tahun ini aku memang terhitung masih training di posisi baruku. Dan tentu saja, kantor selalu merasa punya hak untuk mengirimku ke kantor cabang manapun. Aku memiliki waktu tiga bulan untuk berada di sana.
Sejak dari sebelum keberangkatan, beberapa teman yang lebih dulu bekerja di ruanganku menceritakan kisah mereka yang pernah di Sulawesi. Cukup beragam dari menu makanan yang enak, tempat-tempat yang menarik, atau yang mereka ceritakan tentang kondisi politik yang semrawut, atau karakter masyarakat yang keras. Aku mencoba untuk tetap berpikiran terbuka dan tidak membatasi diri terhadap semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Namun aku hanya berpikir bahwa tujuanku pergi adalah bekerja, setidaknya ada kesempatan untuk keluar dari kubikelku yang selama ini sudah cukup membuat bosan.
Sejak roda pesawatku mendarat di aspal Bandara Halu Oleo, aku merasa memang tidak seharusnya aku membandingkan dengan kadaan di Pulau Jawa. Aku mendapati banyak hal yang berbeda dibanding dengan kondisi sosial dan geografis di Pulau Jawa. Bekerja di bidang yang tidak jauh dari industri media menuntutku untuk terus membaca harian lokal, di samping karena memang seringkali tak ada kerjaan untuk menghabiskan waktu luang.
Hari-hari pertama, aku lebih banyak memilih untuk bersosialisasi dengan rekan-rekan di kantor baruku, mendengarkan cerita-cerita dan pengalaman mereka. Pada minggu-minggu berikutnya, ada rasa ketertarikan untuk mengeksplor setiap sudut kota di sela-sela waktu yang terbatas. Bahkan di waktu jam makan siang, seringkali aku berkendara untuk sekedar melintasi lorong-lorong (sebutan masyarakat lokal untuk jalan kecil).
Sedangkan pada hari libur, aku memilih mengajak temanku untuk menunjukkan padaku tempat-tempat yang mungkin bisa aku kunjungi. Atau berkedara sendiri melintas perbatasan Kota Kendari.
Kota Kendari cukup kecil. Aku membayangkannya yang tak lebih luas dari kampung halamanku. Di sepanjang jalan besar yang aku lewati, nyaris selalu berdiri ruko-ruko yang mengkrak, atau bangunan yang tidak selesai pembangunannya. Orang setempat mengatakannya sebagai bukti bekas kejayaan Kota Kendari, sekaligus keruntuhan perekonomiannya. Bertahun seblumnya, Sulawesi Tenggara terkenal dengan pertambangannya. Setelah diberlakukannya undang-undang mineral dan bahan tambang (minerba), semuanya berbalik dari hitungan bulan.
Perekonomian lesu. Tempat hiburan tutup karena sepi pengunjung, bangunan tidak selesai karena dianggap tidak potensial, dan banyak pabrik dan perusahaan tutup ditinggalkan pemilik modal.
Satu bidang usaha yang masih tetap bertahan adalah usaha cakar atau pakaian bekas. Konon, usaha ini telah menjadi budaya masyarakatnya selama bergenerasi. Masyarakat mengklaim bahwa usaha cakar atau awul-awul yang ada di Jawa berasal dari kota ini setelah masuk dari negara asalnya. Terkadang miris juga melihat masyarakat yang masih mengenakan pakaian, sepatu, atau sebagian perabotan rumah yang sebenarnya merupakan limbah dari negara lain.
Jika malam tiba, seperti layaknya warga lokal, kopi adalah jawabannya. Sebuah warung kopi tradisional yang berada di sudut Jalan Saranani menjadi tempat favoritku. Kopi jenis robusta yang umum dijumpai terasa pahit, cocok dengan seleraku yang kurang menyukai kopi dengan rasa keasaman.
Banyak citarasa kuliner baru yang aku coba, bahkan review-ku mengenai sebagian kuliner di Kota Kendari terbit di majalah tempatku bekerja sebelumnya. Sayangnya, dinamika aktifitas di Kota Kendari terasa sangat tertinggal. Aku tidak banyak menemukan komunitas yang bisa saya ikuti. Waktu mulai terasa lambat dan aku mulai menghitung hari-hariku di sini berakhir.
Kedai pramuka ScoutAddict Kediri menyediakan berbagai perlengkapan serta atribut Pramuka
ReplyDeleteInfo pemesanan WA. 081217746083
Blog : http://scoutaddictindo.blogspot.com
IG : https://www.instagram.com/scoutaddict/
Tokopedia : https://www.tokopedia.com/scoutaddict?nref=shpside