"Segala sesuatu pasti berubah, yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri" - Herakleitos.
12 Mei 2016. Satu tahun lebih sejak tulisan terakhir yang aku posting di blog ini. Semuanya dilatarbelakangi posisi kerjaanku yang berubah. Pekerjaanku sebagai awalnya sebagai jurnalis yang selalu berada di lapangan berubah drastis sejak dipromosikan pada bagian analis. Bekerja di belakang monitor dengan situasi yang stagnan, merupakan ketakutan tersendiri. Sejak bertahun lalu aku selalu menghindari kerja kantoran. Aku selalu berada dalam bayang-bayang bahwa tinggal di suatu tempat dalam waktu yang lama adalah hal yang membosankan. Tidak terkecuali dengan konteks pekerjaan.
Beberapa bulan pertamaku yang diisi dengan training dan pelajaran di kelas cukup membosankan. Sesekali ada rasa frustasi dan merindukan setiap perjalanan dan petualangan yang pernah aku lakukan dulu. Seakan terjebak dalam romantisme sama tersiksanya dengan terjebak dalam rutinitas ibukota yang hanya sebatas kantor dan tempat tinggal.
Namun demikian, ada sedikit keyakinan bahwa situasi ini tidaklah permanen. Seperti perubahan yang disebutkan Herakleitos. Batinku selalu melawan, menuntut kebebasan yang pernah aku miliki sebelumnya. Tapi buatku, ini hanya masalah waktu saja. Aku yakin bahwa semakin lama, aku pasti semakin memiliki waktu dan pengalaman untuk menyelaraskan ritme pekerjaan dan passionku. Jika tidak bisa, aku hanya memutuskan untuk resign dari posisiku, lalu kembali ke zona ketidaknyamanan. Seperti yang beberapa kali aku lakukan sebelumnya. Quit your job and travel. Habis perkara. Tentunya dengan kondisi finansial yang berbeda dengan saat ini, tapi semua pasti ada konsekuensinya bukan?
Aku teringat trip terakhirku sekitar Bulan Maret tahun lalu. Saat itu, aku mengunjungi Bali dan Lombok selama lebih dari dua minggu. Diawali dari pendakian Gunung Rinjani, lalu berpindah tumpangan dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Dengan membawa dua ransel berisi perbekalan dan peralatan, aku tinggal teman-temanku di Bali dan Lombok yang bersedia aku tumpangi.
Trip itu seakan merupakan perjalanan spiritual yang menjadi salah satu titik balik dalam hidupku. Dalam perjalanan itu, aku berusaha menghilangkan kekalutanku tentang kehilangan seseorang yang telah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tengah mencari tujuan hidupku setelah menerima pukulan telah yang hampir meruntuhkan semua semangatku. Sekaligus memikirkan masak-masak tawaran promosi dari kantor yang disampaikan melalui telepon saat duduk di gerbong kereta dalam perjalanku ke Bali.
Bagiku, pekerjaan merupakan salah satu yang esensi. Tentunya aku tidak mau kebebasanku terrenggut oleh rutinitas pekerjaan. Keputusan yang tidak tepat, emosional, dan terburu-buru sama saja berdamai dengan setan. Pasti akan ada konsekuensi yang lebih berat jika semuanya tidak direncanakan dengan matang. Aku mendengar cerita dari orang-orang yang akhirnya mengalah pada rutinitas dan kejamnya jam kerja di ibukota, melupakan cita-cita dan idealisme mereka karena membusuk dalam kemacetan dan kepadatan jadwal. Aku tidak mau seperti mereka.
Tapi siapa yang tahu masa depan. Aku tidak akan tahu jika tidak merasakannya sendiri. Tidak ada salahnya untuk mencoba. Lalu pada kesempatan berikutnya aku memutuskan untuk menerima tawaran promosi dari atasanku. Masih dengan sedikit keyakinan bahwa aku akan dapat merubah persepektif dan cerita buruk rutinitas ibukota. Pasti akan banyak halangan dan membutuhkan usaha ekstra untuk merubah hal itu. Tentu semua ada konsekuensinya bukan?