Pada postingan sebelumnya, aku telah menceritakan sedikit mengenai pengalamanku di Kota Kendari. Pengalaman di Bagian Timur Indonesia, khususnya Sulawesi Tenggara, mungkin akan aku tuliskan ke dalam empat bagian. Alasannya, karena tidak hanya sekali aku mengunjungi Sulawesi Tenggara. Kalau kalian belum membacanya, mungkin bisa buka di sini.
19 Mei 2016. Meneruskan cerita tentang waktu tiga bulanku yang telah melewati setengah perjalanan. Semuanya mulai tampak membosankan. Jam kerja justru terkadang menjadi waktu yang ditunggu. Bagaimana tidak, setelah jam kerja, tidak lagi banyak rekanku yang mau diajak sekedar mengobrol dan menikmati kopi. Maklum saja, sebagian besar dari sudah berkeluarga dan memiliki kehidupan mereka di sini. Tentunya mereka memilih untuk meluangkan waktu dengan keluarga.
Aku pun tak banyak menemukan lingkaran sosial untuk bersosialisasi. Sedangkan akses internet pun tak lagi menarik. Tak jarang jam tidurku terganggu. Chatting tak lagi menjadi solusi. Terkadang aku ingin berbicara dan bertatap langsung dengan rekan-rekanku dulu. Dalam kejenuhan, banyak hal-hal nostalgic yang menghinggapi. Ada rasa rindu kehidupanku dulu. Rasanya kebebasan semakin mahal harganya.
Pada suatu bagian lamunanku di tengah malam, sempat ada pertanyaan tak penting. Bagaimana bisa aku sampai di tempat ini. Tak pernah aku membayangkan berada di suatu tempat yang sedari sekolah dasar hanya aku ketahui dari peta. Bagaimana bisa aku bertemu dengan rekan-rekan baruku yang entah dari mana. Bagaimana hidup berubah sangat drastis dalam hitungan bulan.
Di sisi lain, rekan-rekan kerja di kantorku mungkin juga tak pernah membayangkan akan bertemu denganku. Beraktifitas denganku.
Lalu kita lihat ke belakang, bagaimana aku bisa lahir dari kedua orang tuaku. Bagaimana aku bisa tinggal di kampung halamanku lalu terbang ribuan kilometer sampai di tempat ini. Padahal sebetulnya aku bisa jadi tidak berada di sini jika aku dulu tidak menerima tawaran posisi baruku.
Pernahkah kalian melihat film berjudul "Mr Nobody"?
Bagaimana kalau sebetulnya kita hanya probabilitas? Kemungkinan. Dalam hitungan deret matematis. Kita adalah kemungkinan. Kemungkinan kita beririsan dengan kemungkinan orang lain, sehingga kita dapat bertemu dengan orang lain. Kemungkinan Bisa jadi kemungkinan kita akan menjadi kemungkinan lain jika kita mengambil keputusan yang berbeda. atau hal yang lebih ekstrem, bagaimana kalau sebetulnya kita tidak benar-benar ada. Kita tidak hidup dalam kemungkinan kita sendiri. Kita tidak beririsan dengan kemungkinan orang lain, melainkan merupakan kemungkinan dari orang lain. Kita hanyalah keberadaan orang lain. Ah, entahlah. Semuanya serba mungkin, bukan? Hanya karena pikiran kita yang terbatas sehingga kita tidak tahu.
Jikapun demikian, setidaknya kita hidup dalam ketidaktahuan. Dan menikmatinya.
Pada suatu waktu, aku berkendara cukup jauh melintasi kawasan Kota Lama Kendari. Melitasi pelabuhan ke arah utara Kota Kendari. Cukup jauh melewati pemukiman warga yang merupakan pinggiran kota. Lajuku semakin lambat saat angin semilir dan hamparan laut di sebelah kananku.
Pada sebuah warung kecil aku berhenti untuk membeli minum. Iseng-iseng aku bertanya tentang tempat yang layak dikunjungi di sekitar sini. Penjual warung yang masih seumuran SMA menunjuk pada sebuah pulau yang tampak tak terlalu jauh dari daratan.
Namanya Pulau Bokori. Katanya bisa dijangkau menggunakan kapal kecil yang disewa rombongan, sekitar tiga puluh ribu per orang.
Pada Hari Minggu berikutnya, aku mengajak lima orang rekan kerjaku untuk mengunjungi pulau itu. Aku tertegun pada sebuah bentang alam yang sangat berbeda dengan pantai-pantai yang biasa aku lihat di Pulau Jawa. Pasir putih menghampar dengan air sejernih kristal dengan tingkat visibilitas tinggi. Ikan, bintang laut, atau binatang laut lain daat aku lihat dengan jelas.
Di pulau seluas -yang kalau aku perkirakan- tak lebih dari satu atau dua kilometer ini, hanya ada dua keluarga penunggu pulau. Beberapa vila milik pemerintah daerah yang sedang dibangun, di antara rerimbunan pohon kelapa. Dua hari berada di tepat yang mungkin jika dikelilingi mungkin hanya sat jam ini, rasanya keindahan yang ada tak pernah habis untuk dieksplor. Negeri ini memang kaya.
Pada hamparan pasir putih, aku menunduk untuk melihat lebih dekat. Aku teringat pada sebuah ungkapan cina yang pernah aku baca : Pada sebuah pantai, ada tiga ratus ribu pasir. Di dalam satu pasir itu ada sebuah pantai dengan tiga ratus ribu pasir. Begitu pun setelahnya. Jika kita mengetahuinya, maka kita akan mengetahui kehidupan.
Seperti yang aku bilang sebelumnya, pengetahuan kita sebagai manusia mungkin hanya menyederhanakannya dengan sebutan "takdir". Tentu kita tidak akan pernah tahu seluruh kebenaran skenario Tuhan. Atau jika kalian tidak percaya keberadaan-Nya, skenario alam semesta. Kecuali, beruntungnya, kita mengetahui ending skenario ini. Seperti di akhir bagian film Mr Nobody.
Lalu kembali berakhir pada sebuah pertanyaan "bagaimana mungkin aku ada di sini".