Top Rope Pacitan

Posted by on Monday, March 25, 2013

Kali ini aku mengingat masa-masa SMA dulu, di saat aku baru mengenal panjat tebing. Walaupun aku berkenalan dengan panjat dinding sejak akhir SMP, tetapi aku benar-benar merasakan sensasi memanjat tebing alam saat kelas dua SMA. Tampaknya saat ini aku pantas untuk "kelihatan bodoh". Bagaimana tidak, saat aku pertama kali menaklukkan tebing alam - saat itu di Tebing Putih Kebumen - aku melakukannya dengan top rope. Teknik yang sama dengan beberapa anak kecil seumuran 12-13 tahun yang sedang bersamaku saat ini.


15 September 2012. Aku berangkat menuju Solo dengan menggunakan bus ekonomi yang memuakkan. Perjalanan yang mestinya aku tempuh 5-6 jam harus kutempuh selama sembilan jam. Sebelum memasuki Jogja, bus yang aku tumpangi mengalami masalah dengan ban. Hal itu memaksa aku berdesakan di dalam bus lain, lengkap dengan tas ransel seratus literku.

Saat itu pukul tujuh malam saat aku sampai di Terminal Solo, saat temanku Dimas Satriyo menjemputku dan mengantarku menuju rumahnya di Kauman. Aku mengenalnya saat aku mengunjungi wisma atlet panjat tebing Jawa Tengah di kompleks GOR Jatidiri Semarang. Kami yang tidur satu kamar dengan dua atlet lain akhirnya mengenal satu sama lain selama seminggu aku di sana.

Rumah Dimas merupakan rumah peninggalan kaum ningrat Solo. Hal itu tampak dari rumahnya yang dikelilingi benteng tinggi. Belum lagi letaknya yang berada di Kauman, orang Jawa akan mudah mengetahui "siapa pemiliknya". Rumah itu terdiri dari beberapa bangunan terpisah yang mungkin dulunya memiliki fungsinya masing-masing. Lengkap dengan jendela dan dindingnya yang tinggi, serta lorong-lorongnya panjangnya yang gelap. Tetapi aku hanya memiliki waktu dua jam untuk beristirahat sambil mengamati dan menikmati keeksotikan rumah ini.

Tak terasa aku meluncur ke tujuan kami berikutnya setelah meninggalkan beberapa perlengkapan yang dianggap tidak perlu di rumah Dimas. Motor yang aku tumpangi dengan Dimas meluncur ke sekretariat MEPA UNS. Di sinilah menjadi awal perjalanan yang sebenarnya.

Parjalananku hari itu belum selesai, tengah malam sekitar pukul sebelas malam kami mengendarai motor menuju Pacitan tempat aku dan beberapa teman baruku akan memulai petualangan selama tiga hari ke depan. Sialnya, satu-satunya teman di Solo yang akunal, Dimas tidak ikut karena suatu alasan. Sisi baiknya, hal itu akan memaksaku mengenal mereka secara dalam satu per satu.

Pukul lima pagi kami sampai di sekretariat FPTI Pacitan. Lagi-lagi itu bukan tujuan kami. Hanya sebagai transit bagi kami untuk membersihkan diri dan mengambil beberapa perlengkapan "berat" seperti genset, drill set, dan satu set penuh peralatan panjat.

Tujuan kami sebenarnya adalah Tebing Lembah Kera (ada tebing lain di Malang bernama Lembah Kera juga). Lokasinya berada sekitar satu jam perjalanan di sebelah selatan pusat Kota Pacitan. Tebing itu merupakan tebing kapur yang tersusun dari tiga tebing. Dengan ketinggian mencapai delapan puluh meter, terdapat dua teras di tengah-tengah tebing.

Tebing Lembah Kera yang saya maksud hanya merupakan satu dari deretan tebing sepanjang dua kilometer. Tebing yang bersih dari belukar membuat lokasi itu menjadi tempat favorit pemanjat. Belum lagi kontur tebing yang menyediakan rute berupa dinding vertikal, overhang, bahkan lengkap dengan roof. Tak heran terdapat tujuh buah rute dengan grade 5.11 - 5.13d.
Semak belukar tajam

Dua rute yang paling terkenal adalah Rute Lembah Kera (5.12) dan rute 77 (5.13d). Rute Lembah kera adalah rute tertinggi dengan hold bervariasi, tetapi relatif mudah. Sedangkan Rute 77 adalah rute yang cukup sulit berupa full overhang dengan beberapa hold berupa slab yang sangat menguras tenaga. Keduanya adalah rute yang dibuat oleh Tedi Ixdiana (aku berencana mengulas profilnya di lain kesempatan). Sedangkan dua rute lain dibuat oleh MEPA UNS dengan grade 5.12. Sedang tiga rute lain kurang dikenal. Kali ini divisi Rock CLimbing MEPA UNS pun berencana menorehkan nama mereka pada satu jalur lain.
Jalur MEPA UNS (5.12)

Hari pertama kami fokus pada pemasangan anchor untuk top rope climbing pada jalur baru yang akan dibuat MEPA UNS. Untuk mencapai lokasi kami harus berjalan memutar sejauh lebih dari lima ratus meter menuju teras kedua tebing. Jalannya dipenuhi semak belukar berduri yang mencabik kulit kami. Tak terhitung bilur di lengan dan kaki kami. Dan masalah utamanya adalah panas yang menyengat karena tak ada pepohonan besar di lokasi tempat kami akan memasang anchor point. Sedang pemandangan hijau di bawah cukup menghibur kami.
Pemandangan dari atas tebing Lembah Kera
Lebih dari setengah hari hingga benar-benar anchor point terpasan dengan tali sampai di tim routesetter yang telah siap dengan alat berat. Hari itu sangat melelahkan. Hanya dua anchor terpasang dan aku hanya menamatkan rute pendek, terlebih tenagaku terkuras untuk memasang runner dan cleaning. Kami pun kembali menuju Sekretariat FPTI sebagai tempat peristirahatan kami.
Top Rope
Hari kedua ini adalah hari Minggu, jumah kami bertambah dengan adanya segerombolan anak seumur tiga belas tahunan. Mereka adalah athlete of tomorrow FPTI Pacitan. Di antara mereka ada seorang anak perempuan "bibit potensial" atlet panjat tebing. Yang kudengar dari Dimas, ia bernama Musqolifah.
Di lokasi, semua orang telah siap dengan tugasnya masing-masing. Tim routesetter, logistik, dan tim pemanjat. Dan aku? Berharap cukup menenteng kamera saja.

Ternyata personel kurang, jadilah aku menjadi pria pengasuh anak-anak yang dititipkan pembina FPTI Pacitan kepada kami. Aku bertugas memasang runner lalu memasang kostail di hanger teratas, melepas kernmanetlku, lalu menunggu bidikan kameraku kepada pemanjat cilik ini. Hal yang sama aku lakukan di tiga rute. Tanpa istirahat, karena aku kian menikmatinya. Sedangkan Mus hanya melihat sambil tersenyum-senyum. Mungkin rute-rute ini tak berarti apa-apa untuknya, bayangku.
Aman, rute Lembah Kera (5.12)


Melihat mereka, rasanya seperti melihatku saat SMA, hanya saja anak-anak ini tampak lebih muda. Aku mungkin akan menertawakan diriku saat SMA karena memanjat dengan cara top seperti anak-anak ini.
Pemanjat unknown, rute unknown

Aku merasa tertantang dengan rute 77, overhang yang dimulai dari runner pertama tampak cukup menggoda. Setiap cengkeraman dan pijakan terasa berat sejak runner kedua dan blok yang berat di runner ketiga. Aku hanya berhasil memasang runner keempat tepat sebelum cengkeramanku di slab hold lepas karena kehabisan tenaga.
Mus di runner kempat

Giliran Mus memanjat dan kulihat dia pun cukup kepayahan walau sampai menamatkan dua runner di atasku. Masih tersisa dua runner yang harus kami selesaikan. Namun cukup baik untuk atlet muda sekelasnya yang pernah menjajal sirkuit panjat tebing di kejuaraan junior di Cina.

Mus mengakhiri pemanjatannya di runner keenam
Hari itu berakhir dengan selesainya satu rute baru dengan grade 5.11d yang dibuat MEPA UNS, unfinished job bagiku dan Mus, serta kelelahan ternyata yang menderaku. Sisi baiknya, aku telah mengenalkan slackline kepada anggota MEPA UNS, FPTI Pacitan, dan beberapa pemanjat lain.

*Aku tak menyangka dari sini akan lahir salah satu komunitas slackline terbesar dalam scene slackline Indonesia. Dan untuk pertama kalinya aku sakit dalam traveling sembilan hariku

Leave a Reply