Menaklukkan Si Raksasa Part 1

Posted by on Thursday, June 12, 2014



Resiko bahaya selalu ada saat beraktifitas di alam bebas. Kita tidak bisa menghindari resikonya seratus persen. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencegahnya seminimal mungkin. Terkadang ego dan keinginan kita, bahkan terkadang sebuah keberhasilan untuk melewati sebuah lintasan menggoda kita untuk terus maju. 

Menghitung resiko yang terjadi dan mengkalkulasinya dengan kemampuan kita, untuk mendapat hasil yang kita inginkan. Semuanya adalah seni dalam beraktifitas alam bebas. Tentu saja semuanya akan menjadi sia-sia saat kita mengabaikan keselamatan. 



Selasa, 29 April 2014. Dalam sejarah pengalamanku memasang bolt baru pernah aku merasakan batu sekeras ini. Andesit dengan permukaan licin dan berkilap. Sudah hampir lima menit aku mengangkat tanganku pada jangkauan tertinggiku. Menopang bor listrik seberat hampir tiga kilo, dan menahan getaran dari bor itu. Tidak pernah juga aku mengebor batu selama itu menggunakan bor listrik bersystem SDS. Biasanya tak sampai satu menit, bahkan hanya dalam hitungan detik.

Keringat membanjiri dahi, leher, ketiak dan sekujur dada. Beberapa kali aku berhenti untuk istirahat. Kalau bor itu sampai jatuh ke dalam air, aku, dan dua orang lokal bisa mati tersetrum. Kalau dua roll kabel sepanjang lima puluh meter itu ada bagian yang terkelupas, kami pun mati. Bagaimana tidak, aku setengah badan kami berada di air. Bahaya terpanganggan aliran listrik 220 volt sudah ada dalam bayangan kami, tapi ini adalah salah satu cara untuk mewujudkan keinginanku meniti tali di bawah aliran Curug Bayan Banyumas.

Dua bolt berdiameter sepuluh milimeter dengan panjang delapan sentimeter berhasil kami tanam. Seluruhnya memakan waktu lebih dari setengah jam. Dua bolt lainnya telah terpasang di sisi lain Curug Bayan beberapa menit lalu. Tak sampai sepuluh menit untuk menanamnya. Gerimis pukul satu siang mulai turun membuatku tidak sempat menjajal lintasan ini. 
Akhirnya. 2 bolt yang penuh perjuangan.
Bandotan Puspa, adalah nama setempat untuk sejenis ular viper di Indonesia. Aku melihat ular mematikan ini masuk ke sela-sela bebatuan saat mensurvei lokasi untuk memasang bolt ketiga. Besarnya hanya sebesar telunjuk, tapi itu jelas tampak dari coraknya yang abu-abu, lengkap dengan kepala segitiga dan mata bergarisnya. Aku menyukai ular, tetapi aku tidak mau bermain-main dengan ular itu. Aku kembali menemukannya hanyut di aliran sungai saat gerimis berubah menjadi hujan deras dan aku berteduh di villa Curug Bayan. Aku tidak tahu apakah itu ular yang sama, atau ular lain yang masih satu peranakan yang sama.
Jalom berlatar belakang Curug Bayan.
Langkah pertama.

Rasanya nama itu cukup mewakili lintasan sejauh empat puluh meter itu, tetapi aku lebih memilih nama Guntur The Giant. Ada alasan kuat bagiku untuk memilih nama itu. Guntur adalah nama teman satu angkatan kuliahku yang tewas tenggelam di bawah curug itu. Saat itu badannya paling besar di antara satu angkatan. Dan inilah Guntur si raksasa. Aku sempat menceritakan kisahnya di sini.

Bahkan untuk mounting pun butuh perjuangan.
Pemandangan dari atas Curug Bayan.

Kamis, 1 Mei 2014. Aku sudah tidak sabar untuk menaklukkan si raksasa. Dan aku punya waktu seharian untuk mencobanya. Kali ini aku tidak sendiri. Jalom, Azmi "Abe", dan Reza "Cipeng" berangkat dalam satu rombongan. abe dan Cipeng, kedunya mantan vokalis band metalcore Soulsaver yang juga rekan satu scene aku dan Jalom. Di era akhir 90 hingga 2010, band ini dikenal dengan aksinya membakar bendera Israel saat di panggung. Kini mereka menjadi anggota Indoslackline.
Langkah pertamaku.

Perjuangan.

Dibanding rombongan slacker, kami lebih mirip rombongan pikinik karena istri dan anakkeduanya ikut bersama kami. Beberapa tahun menjalani proses kreatif hingga sempat menggerakkan industri kreatif di Purwokerto, kamin cukup mengenal satu sama lain. 
Aku, Cipeng (paling kiri), Abe (tengah), dan kedua anak mereka.

Memasang tali di air bersuhu skeitar empat belas celsius dan menarik pulley melalui semak belukar adalah hal lain yang cukup melelahkan. Terlebih hanya dilakukan dua orang. Posisi anchor cukup presisi, hanya saja untuk memasang line lock, aku harus beberapa kali menyelam. Lebih dari satu jam kami berhasil memasang rigging, tetapi tentu saja tenaga kami berdua tidak cukup untuk mendapatkan tensi maksimal pada tali sepanjang empat puluh meter lebih itu.
Terus berjalan.


Di antara eksotisnya pemandangan Curug Bayan, perjuangan kami menaklukkan si raksasa dimulai. Kesulitan pertama, kami harus menahan kaki dan badan kami yang gemetar krena kedinginan. Kesulitan kedua, kami harus ekstra stabil melewati lintasan yang lebih menyerupai rodeo line, karena sag (goyangan) yang diakibatkan tensi yang tidak terlalu kuat pada tali.
Jalom and his small buddy.

Cipeng lowline.

Belasan kali jatuh bangun kami mencoba, namun tetap jatuh pada jarak maksimal tak sampai setengah lintasan. Hempasan angin dari curug mungkin aku masukkan pada faktor kesulitan yang ketiga. Dinginnya air di ketinggian lebih dari 600 mdpl membuat tenaga terkuras dengan cepat. Dengan menyisakan sedikit tenaga, kami pun menyerah pada si raksasa. Tetapi piknik belum usai, kami menghabiskan sore itu  bersama pengunjung lain Curug Bayan dengan memasang tali pendek di antara pilar vila Curug Bayan. 
pengunjung pun mencoba.

Pose favorit selain hand lever : headstand! Sayang belum bisa handstand.

*Foto oleh Jalom , Isro, dan Cipeng

Leave a Reply