Canyoning Natgeo Traveler Part 1

Posted by on Wednesday, February 4, 2015


Berbekal keterampilan panjat tebing dan single rope technic, sekelompok canyoneer amatir menaklukkan rekahan-rekahan terdalam dan menjelajahi ngarai-ngarai bertebing curam di sekitar Gunung Slamet.
Menjelajahi Rekah Bumi Kerutan Gunung Slamet


Berdiri menjulang sebagai gunung tertinggi kedua sekaligus gunung terbesar di Pulau Jawa, Gunung Slamet memayungi empat Kabupaten. Gunung berapi aktif ini berada dalam wilayah administratif Kabupaten Tegal, Banyumas, Purbalingga, dan Pemalang. Aktifitas erupsinya yang pasang surut beberapa waktu terakhir tidak menghambat aktifitas masyarakat sekitar. Juga tidak menyurutkan nyali saya dan beberapa pegiat canyoning amatir yang tergabung dalam komunitas Canyoning ID.

Komunitas kecil ini mewadahi pegiat canyoning yang sebagian berasal dari kalangan mahasiswa dan pecinta alam umum. Sejak akhir tahun lalu, komunitas ini membuka jalur-jalur baru dan menjelajahi rekah-rekah bumi di sekitaran Gunung Slamet. Mereka sadar bahwa rekahan tersebut memiliki potensi yang bisa digarap dalam aspek kepariwisataan.

Di samping itu, rekah-rekah bumi yang sedemikian banyak merupakan bentang alam yang membentuk kerut Gunung Slamet. Bentukan alam yang tersebar dari barat hingga timur Kabupaten Banyumas ini cukup mudah dijangkau, membuatnya seperti halaman belakang rumah sekaligus medan penjelajahan bagi pegiatnya. Rekah-rekah bumi ini umumnya merupakan kantung-kantung sumber mata air, dan sebagian besar merupakan jalur aliran air dari rerimbunan hutan di sekitarnya. Semakin ke bawah, rekahan ini menjadi hulu-hulu sungai yang menyatu membentuk sungai-sungai besar.

Salah satu jalur canyoning yang paling umum dilalui adalah hulu Kali Pelus Barat yang terletak di Desa Munggangsari Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Sungai ini terus mengalir hingga membelah sebelah timur Kota Purwokerto, bermuara pada Sungai Serayu, sungai besar yang mengalir dari Dataran Tinggi Dieng Wonosobo dan melintasi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, hingga Cilacap.

Aktifitas canyoning di lokasi ini telah diperkenalkan sekitar enam tahun silam saat pertama kalinya Tedi Ixdiana, pemanjat tebing senior Indonesia membuka jalur canyoning untuk salah satu resort ecoturism. Secara teknik, aktifitas minat khusus yang terbilang baru di Indonesia ini memang banyak mengadopsi teknik panjat tebing dan speleology (ilmu keguaan). Belakangan, sekelompok pegiat canyoning amatir mengembangkan aktifitas penelusuran ngarai ini dengan membuka banyak jalur lain.

Rute Kali Pelus Barat dimulai dari entry point yang terletak di jalan alternatif Baturraden – Serang dan terletak di Taman Botani Baturraden. Pada salah satu jembatan, kami mulai turun menuju dasar hutan yang tertutup sesemakan kanopi hutan. Sebuah jurang setinggi delapan meteran menyambut kami yang memaksa kami menuruninya dengan teknik rapelling. Batuan di dasar hutan hampir kesemuanya berupa andesit yang nyaris seluruh permukaannya tertutup lumut tebal. Juga kerikil dan pasir yang merupakan material yang terbawa dari Puncak Slamet.

Kami semakin masuk ke dalam kerutan bumi dengan kelembapan pada lantai hutannya karena hanya terpapar sedikit sinar matahari yang menyeruak masuk. Di beberapa bagian, kami melintasi kolam-kolam berair jernih dengan permukaan air bervariasi mulai dari sedalam lutut, hingga setinggi dada orang dewasa.

Air dengan intensitas kecil pun mulai mengucur dari celah bebatuan dan mengalir menyela pijakan kami. Rekahan yang kami lalui umumnya selebar empat hingga lima meter. Tidak banyak hewan yang bisa kami temui kecuali serangga dan renik pengurai. Sedangkan lintah penyedot darah yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah pacet, adalah parasit setia yang kerap menyelinap ke dalam sepatu.

Beberapa jam berikutnya, kami melalui beberapa jeram-jeram kecil dengan kolam-kolam sedingin sekitar dua belas derajat celsiusan yang terperangkap di antara ceruk bebatuan. Kerap kali kami harus terjun ke dalam air karena tidak menemukan anchor untuk tambatan tali.

Pada sebuah air terjun setinggi sekitar dua belas meter di antara pepohonan terbuka kami beristirahat dengan menyantap perbekalan dan menyeduh kopi sebelum kembali meneruskan penjelajahan. Tepat di bawah kami, aliran air yang mulai deras menuntun kami pada sebuah air terjun setinggi empat puluh lima meter lebih. Air terjun yang tersembunyi dalam gelap kanopi hutan ini hanya diketahui oleh pencari rotan dan sebagian warga lokal. Terlepas dari kesan mistisnya, Air Terjun/Curug Kinyami menyimpan keindahaan dan kealamiannya.

Curug Kinyami merupakan curug tertinggi di Jalur Kali Pelus Barat. Setelah melewati curug ini, medan berikutnya yang kami lalui berupa sungai sedalam lutut dengan air yang cukup deras. Kami berada tepat di antara tebing-tebing menjulang belasan meter.  Medannya semakin menyempit dan tidak ada lagi jalan keluar hingga exit point di Telaga Putri. Tekstur batuan berupa lekuk andesit yang licin merupakan sensasi yang menyenangkan untuk ber-sliding selain memaksa kita untuk tetap berhati-hati.



Kejelian dalam membaca tanda alam juga menjadi prasyarat melintasi jalur ini. Setelah lewat tengah hari, banjir bandang seringkali melanda. Merubah sungai ini menjadi talang air dengan kekuatan berkubik-kubik volume air. Menambah ketinggian air dari sedalam lutut hingga tiga meter dalam hitungan kurang dari setengah jam.

Beberapa puluh meter menjelang exit point, kolam-kolam kecil bertingkat menjadi suguhan di antara hijau andesit halus yang tertutup lumut. Namun ketidakwaspadaan akan membawa celaka bagi siapa saja yang terlena. Cliff diving pada curug di Telaga Putri setinggi empat meteran menutup penjelajahan kami.

Kembali kami melewati setapak di antara rerimbunan Pohon Damar. Beruntung kami dapat lolos dari banjir bandang pada hujan pertama musim ini. Kami menyadarinya saat melihat air sungai di bawah kami berubah coklat dengan ketinggian berkali lipat dari ketinggian air normal.

Leave a Reply